POSITIVISTIC APPROACH EKONOMI SYARIAH
Mulawarman
(2010)melihat bahwa se-lama ini yang dilakukan oleh para pengamat dan predictor
ekonomi Islam/Syariah mung-kin belum lengkap, karena menggunakan
Positivistic Approach, terlalu berorientasi pendekatan matematis dan kuantitatif,
serta outward looking. Baik
perkembangan Inter-nasional maupun Regional tersebut biasan-ya menggunakan
model pengukuran yang mirip dengan perhitungan-perhitungan dan asumsi-asumi
dasar Ekonomi konvensional, seperti penghitungan indeks, (jumlah bank syariah,
jumlah lembaga keuangan non-bank syariah, maupun ukuran aset keuan-gan syariah
yang memiliki bobot terbesar, dan lainnya). Berdasarkan ukuran-ukuran
kuantitatif seperti itu dapat dilihat betapa laju ekspansi kelembagaan dan
akselerasi pertumbuhan aset perbankan syariah yang sangat tinggi, ditambah
dengan volume penerbitan sukuk yang terus meningkat. Berdasarkan logika yang
sama, dapat kita lihat misalnya laporan-laporan penuh an-gka yang menakjubkan
dan membuat kita terkesima dengan perkembangan perbankan syariah seperti
dilansir tiap bulan oleh Bank Indonesia. Sehingga lupa dengan “kenyata-an”
ekonomi Islam berada di “bumi” Indone-sia yang mayoritas petani dan UKM (inward looking). Sesuai kaidah yang dipakai, meli-hat perkembangan ekonomi
Indonesia ter-masuk ekonomi Islam di Indonesia biasanya lebih familiar bila
masuk dalam kerangka positivisme.
Positivistic Approach mengedepankan model: to explain and to predict. Perkemban-gan ekonomi Islam yang dipakai
Positivistic Approachsebagai tolok ukur seperti desain blue print “top-down”, prospek-kendala kro-nologis, struktural
kelembagaan, pertum-buhan linier, dan lebih banyak pendekatan proyeksi statistik.
Hal ini sesuai dengan alur berpikir positivistik (atau dapat dikatakan se-bagai
penegas atas logika positivisme dalam teori ekonomi) Milton Friedman
(1953/1966), Samuelson, Hutchison dan ekonom-ekonom mutakhir saat belakangan. Sebagaimana di-tuliskan dalam
artikel fenomenal Friedman yaitu The
Methodology of Positive Economics tujuan utama dari positive science adalah mengembangkan teori atau hipotesis secara
empiris, matematis, materialistic, melalui kekuatan explanasi validitas dan
makna prediksi mengenai fenomena terobservasi. Pengembangan teori dan hipotesis
positivis-tic bagi Friedman tak dapat lepas dari logika ekonomi dasar atau normative economics itu sendiri, sepertiprice of products atau faktor-faktor
produksi sertainterelasi antara supply
dan demand di market berkenaan dengan kebermanfaatan (utility) dan kegunaan (use-fulness)
serta kelangkaan (scarcity)
berorien-tasi pada self-interestbehavior
dan berujung pada pembentukan permodelan (abstract
model). Pendekatan positivistic juga
ber-laku pada manajemen (FW Taylor dengan
Principles of Scientific
Management) maupun akuntansi (Positive
Accounting Theory yang dilansir secara formal oleh Watts dan Zim-merman).
Baik di domain ekonomi, manaje-men/bisnis, maupun akuntansi, positivisme
sebenarnya merupakan gerakan empiricism
untuk melegitimasi sifat dasar kemanusiaan Barat, yaituSelf Interest.
Banyak
kritik terhadap PositivisticAp-proach oleh
para ekonom Barat sendiri (misal
Leontif 1982; Ormerod 1994; Lawson 2002 dan banyak lainnya). Kritik Leontif
(1982) mengatakan bahwa jurnal-jurnal eko-nomi didominasi dan telah terdesain
rumus matematika sampai permodelan dan masuk lebih dalam untuk mengeksplore
ekonomi lewat angka-angka untuk memotret beroper-asinya system ekonomi yang
nyata. Menurut Lawson (2002; 5-7) merupakan kesalahan pilihan metode ilmu
ekonomi dalam melihat realitas, ekonomi yang telah terjebak dalam konsep dan
rumusan ekonometrik. Teta-pi bagi Lawson (2002) ilmu ekonomi tidak hanya terjebak
pada kesalahan metode saja, tetapi juga terjebak dalam kesalahan inkon-sistensi
pada level teori sosial dan metodol-ogis. Level teori sosial berkenaan dengan
aliran ekonomi mainstream yang meng-gunakan ekonometrik sebagai alat untuk
memperjelas pilihan (choice) manusia
yang deterministic dan individualistic, berujung pada sinyal “take the form of market prices”.
Sedangkan pada level metodologis, realitas ekonomi hanya berkenaan masalah
pilihan matematis (ekonometrik) atau tidak, tetapi lebih pada penggunaan metode
yang jelas di-pengaruhi oleh masalah filosofi, belief system dan mentalitas. Kritik
epistemologis sebena-rnya juga disampaikan Choudhury (2005). Beliau melihat
bahwa Ekonomi Islam saat ini masih mengidap penyakit akut ekonomi konvensional
dan terjebak “afeigned kind of neoliberal and neoclassical doctrinaire”. Usulan melakukan reorientasi
epistemologis ekonomi Islam dengan melakukan induksi Tawhid secara tegas. Meskipun demikian, Choudhury (2005) tetap menyepakati digu-nakannya metodologi/metode
positivistic.
Dua
mencoba memahami ekonomi dalam perspektif yang lebih meta paradig-matik,
menarik semua simpul ekonomi pada ukuran yang sama, yaitu kesejahteraan dan
keadilan masyarakat sebagai puncak kepent-ingan ekonomi. Michael Dua
menyimpulkan bahwa bila ekonomi di-filsafati, maka yang menjadi pemikiran semua
gerbong ekonomi, baik aliran kapitalis, sosialis, ekonomi sosial atau ekonomi
lingkungan, adalah dua kata magis, yaitu keadilan dan kesejahteraan. Dua kata
magis ini memerlukan apa yang dinamakannya sebagai Etika Berekonomi, Berekonomi
dengan Hati. Sayangnya apa yang dilakukan oleh Michael Dua nampak-nya masih
berputar pada sekularisasi eko-nomi dan juga bukan melakukan perubahan
signifikan atas ekonomi yang ada. Yang di-lakukannya hanyalah melakukan
pemba-caan ulang atas dogma-dogma ekonomi yang dominan dan dengan melihat
kembali pada akar pikiran masing-masing dogma, Michael Dua mencoba menarik kata
kunci yang ada di seluruh dogma, yaitu keadilan dan kes-ejahteraan yang berhati
nurani.
Pikiran
Dua (2008) sepertinya mirip dengan apa yang telah digagas oleh Sen (1987). Bila
dilihat dari perspektif yang leb-ih teoritis, menarik apa yang ditulis oleh O’hara
(2002) berkenaan dengan bagaimana mensinergikan pemikiran ekonomi Marx, Veblen,
Keynes dan Schumpeter dengan apa yang dinamakannya sebagai Critical Eco-nomics Systems Approach. Tetapi sekali lagi, apa yang dibincangkan oleh O’hara
adalah bagaimana menyelesaikan masalah ekonomi dalam koridor yang sama, yaitu
bagaima-na menyelesaikan masalah kesejahteraan dan keadilan dalam sistem
ekonomi, pros-es sosioekonomi dan pendekatan distribusi kekayaan dalam koridor multiple capital (diri-sosial-alam).
Pilihan
lain dari melakukan telaah fil-safat atas ekonomi, juga telah banyak
di-lakukan. Kita lihat misalnya yang dilakukanCapra atau Zohar dan Marshall.
Bagi mer-eka pilihan filsafat ekonomi yang melampaui filsafat menjadi penting,
yaitu melakukan spiritualisasi ekonomi. Capra misalnya, dari berbagai bukunya
yang digulirkan seperti
The Tao of Physics, TheTurning
Point, The Web Life atau yang terbaru The Hidden Con-nection, semua yang
berkenaanekonomi di-hubungkan dengan karakter utama spiri-tualitas organis postpatriarkal.
Ekonomi yang harus dikedepankan adalah ekonomi yang memiliki spirit organis
dalam bingkai alam semesta. Lebih mudah lagi, spiritual-isasi ekonomi harus
mengedepankan sin-ergi organis untuk keseimbangan kepent-ingan
materi-batin-spiritual dalam diri-sos-ial-alam. Pikiran ini juga mirip dengan
apa yang dilakukan oleh Zohar dan Marshall dalam bukunya Spiritual Capital. Logika Zo-har dan Marshall, melihat bahwa yang
dike-jar oleh setiap manusia sebenarnya adalah satu kata kunci, yaitu Capital.
Bagi mereka yang perlu dilakukan adalah melakukan
“beyond”capital, yaitu capital bernilai materi, sosial
sekaligus spiritual untuk menangkap sinyalkepentingan diri-sosial-alam.
Sebenarnya
pemikiran yang lebih menarik adalah apa yang dilakukan oleh Schumacher, dengan
simbol Small is Beau-tifull yang
kemudian difilsafati dengan A Guide
forthe Perplexed (1981). Buku relatif
lama ini sebenarnya telah melakukan lon-catan sejarahnyasendiri, yang
mencoba me-narik ekonomi dalam konteks filsafat den-gam memberikan model
pencerahan baru, keluar dari dominasi ekonomi mainstream. Pikiran Schumacher sebenarnya bisa dijadi-kan model
pikiran baru dalam ekonomi yang memiliki “ruh” Ketuhanan. Tetapi memang
masalahnya adalah Schumacher tidak
bisa melakukan penurunan konteks normatifnya menjadi lebih membumi dan
aplikatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar