CATATAN
KAGAGALAN EKONOMI KAPITALIS DAN LAHIRNYA MAZHAB POSITIF EKONOMI GLOBAL
Kegagalan
ilmu konvensional kapitalis dalam menciptakan keadilan sosial dan menyelesaikan
persoalan manusia sudah tidak terbantah. Secara internasional hal itu dapat
disimak melalui buku The Death of Economics karya Ormerod (1998), atau
melalui buku Economics as Religion karya Nelson (2001). Sedangkan secara
nasional, hal itu dapat disimak melalui buku Ekspose Ekonomika karya
Sri-Edi Swasono (2005). Sesuatu yang menggembirakan adalah bahwa telah terjadi
perkembangan yang positif dalam ilmu ekonomi, di mana banyak pakar ekonomi
telah melakukan kritik tajam terhadap kegagalan ilmu ekonomi konvensional
kapitalis dan menyumbangkan pemikirannya dengan mengemukakan ide-ide yang
mengarah kepada perbaikan paradigma ilmu ekonomi menuju yang lebih baik, yaitu
perhatian terhadap nilai-nilai moral, etik, dan keadilan sosial. Misalnya
dikemukakan oleh Thomas Friedman ketika diadakan konferensi Davos, Agustus 1997
yang menghimpun para pemimpin dari seluruh dunia. Ia mengatakan yang artinya:
“Serangan terhadap mereka yang akan membangun dunia pada basis satu dimensi, di
mana perdagangan adalah segalanya, di mana hanya perhitungan-perhitungan
finansial saja yang perlu, dengan mudah akan menemui serangan moral potensial
terhadap globalisasi”.
Amitai
Etzioni menyatakan bahwa paradigma ilmu ekonomi neoklasik pada hakikatnya tidak
hanya mengabaikan dimensi moral, tetapi juga menolak dimasukkannya moral ke
dalam paradigmanya. Oleh karena itu perlu ada paradigma baru dalam ilmu ekonomi
yaitu perlunya dimasukkan nilai-nilai moral, karena hanya dengan cara itulah
memungkinkan untuk mencari mana yang benar dan mana yang menyenangkan.
Christofam
Buarque, menyatakan bahwa kegagalan ilmu ekonomi dalam pandangannya terletak
kepada pengabaian nilai-nilai sosial dan etika. Tujuan sosial telah
dikesampingkan dan dipandang sebagai konsekuensi dari kemajuan teknik daripada
sebagai tujuan peradaban. Sementara itu, nilai-nilai etika telah dipinggirkan.
Perlu ada suatu perubahan fundamental dalam pendekatan, penyusunan kembali
prioritas-prioritas secara total. Pendekatan yang dimaksudkan yaitu:
1. suatu etika untuk melakukan redifinisi tentang tujuan
peradaban.
2. suatu definisi baru tentang sasaran dan area kajian
3. suatu landasan baru bagi ilmu ekonomi sebagai suatu disiplin.
Timothy
Gorringe menyatakan bahwa mereduksi manusia yang homo sapiens (makhluk
bijaksana) dengan hanya homo economicus yang secara rasional
memaksimalkan utiliti, bertindak berasas self interest saja merupakan
reduksi yang sangat telak terhadap nilai-nilai moral. Oleh karena itu perlu
didirikan mahkamah international untuk keadilan ekonomi.
Clive
Hamilton mengungkapkan bahwa ilmu ekonomi berkait dan bersepakat dengan
kehidupan manusia, sedangkan manusia adalah makhluk yang berperasaan selain
berakal, oleh karena itu ekonomi modern yang mengabaikan perasaan (moral/etika)
dan spirituality merupakan kesalahan yang sangat telak. Memahami sesuatu
dengan hanya berasaskan akal semata merupakan pemahaman yang tidak lengkap.
Sejak
terbitnya buku Max Weber The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism
(1904-1905) orang yakin adanya hubungan erat antara (ajaran-ajaran) agama dan
etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi.
Weber memang mulai dengan analisis ajaran agama Protestan (dan Katolik),
meskipun menjelang akhir hayatnya dibahas pula agama Cina (1915, Taoisme dan
Confucianisme), India ( 1916 Hindu dan Budha), dan Yudaisme (1917).
Sementara
Kurt W. Rothschild memberikan salah satu metode penyelesaian problem etika
dalam ekonomi. Beliau menyatakan bahwa fairness (sebagai salah satu
kategori etika) dapat menjadi jembatan penghubung antara keadilan dan efisiensi
dalam ilmu ekonomi. Walaupun mungkin akan terjadi penyimpangan yang sedikit
dari yang diidealkan, akan tetapi konflik dasar antara nilai-nilai etika dan
ekonomi hanya dapat didamaikan dengan baik melalui cara ini.
Lain halnya
dengan Edward E. Zajac, dalam buku Political Economy of Fairness, beliau
menjelaskan beberapa teori keadilan ekonomi baik yang bersifat normatif maupun
positif ekonomi seperti John Rowls’ Theory of Justice, Robert Nozick
Theory of superfairness (normatif) dan Perceived Economic Justice in
Public Utility Regulation (positif) dan sebagainya. Perbincangan dalam buku
ini selalu mengkaitkan antara makro dan mikro ekonomi, karena sumber persoalan
moral dalam ekonomi, di antaranya karena tidak mesranya link antara
makro dan mikro ekonomi. Ini seperti telah banyak dikritik tentang pembagian
makro dan mikro itu tidak tuntas.
Sehubungan
dengan banyaknya kritik terhadap ekonomi konvensional kapitalistik, saat ini
telah muncul berbagai mazhab ekonomi positif kritis, diantaranya:
1. Grant Economics yang menyatakan bahwa
perilaku altruistic tidak mesti dianggap sebagai suatu penyimpangan
terhadap rasionaliti. Perlu ada integrasi antara self interest dan altruisme.
Menyamakan atau menyederhanakan perilaku rasional hanya dengan mementingkan
diri sendiri adalah tidak realistik.
2. Ekonomi humanistic yang
menekankan perlunya pembentukan asas-asas humanismenya untuk mendorong
kesejahteraan manusia dengan mengakui dan mengintegrasikan nilai-nilai
kemanusiaan dasar. Mazhab ini tidak menganut utilitarianisme kuno tetapi
psikologi humanistic.
3. Ilmu ekonomi sosial yang mencakup
usaha untuk revolusi teori ekonomi dipadukan dengan petimbangan-pertimbangan
moral. Menurut Amartya Sen (2001), menjauhkan ilmu ekonomi dari etika berati
telah mengerdilkan ilmu ekonomi welfare dan juga melemahkan basis
deskriptif dan prediktif ilmu ekonomi. Hausaman, salah satu pendukung paham
ini, suatu perekonomian yang secara aktif melakukan kritik diri sendiri dengan
aspek-aspek moral akan menjadi lebih menarik, lebih bersinar, dan lebih
bermanfaat.
4. Ilmu ekonomi institusional yang
beranggapan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh berbagai lembaga yang
saling berkaitan seperti sosial, ekonomi, politik, dan agama.
Kesulitan
yang dihadapi oleh ilmu ekonomi konvensional telah diuji oleh sejumlah pakar
ekonomi terkemuka dalam suatu kajian, Economics in The Future: Towards a New
Paradigm. Konsensus yang muncul dari buku ini adalah bahwa yang diperlukan
untuk menyelamatkan ilmu ekonomi dari krisis yang sedang dialaminya, bukanlah
dengan melakukan penafsiran teori ini atau teori itu atau melakukan
perubahan-perubahan dalam paradigma ilmu ekonomi, tetapi yang diperlukan adalah
mengubah paradigma itu sendiri dan bergerak menuju paradigma baru di mana
problem-problem ekonomi tidak dikaji secara terpisah, tetapi dikaji dalam
konteks keseluruhan sistem sosial, di mana ide-ide, visi masyarakat, dan nilai-nilai
moral tidak disembunyikan, tetapi mendapatkan tempat dalam parameter yang
mempengaruhi proses pembuatan keputusan ekonomi. Perekonomian modern telah
gagal untuk menjamin keadilan distributif, pertumbuhan yang berkesinambungan,
pembangunan manusia yang seimbang, dan keharmonisan sosial. Hubungan antara
nilai-nilai moral, keputusan ekonomi dan gelagat individu telah mengalami
goncangan pada masa ekonomi konvensional kapitalis.
Menurut Umar
Chapra, revolusi ilmiah dalam ekonomi konvensional tidak komplit sehingga
menyebabkan tiadanya mata rantai yang tegas antara mikroekonomi dan
makroekonomi. Kurangnya mata rantai penghubung antara makroekonomi dan
mikroekonomi telah menimbulkan ketidakpuasan di kalangan para ahli ekonomi.
Justeru dalam kenyataannya seakan-akan terjadi pertentangan antara makroekonomi
dan mikroekonomi. Analisis mikroekonomi yang didasarkan kepada kebebasan
individu berlebihan memberi perhatian lebih kepada efisiensi dengan pareto, tetapi
tidak memperhatikan realisasi tujuan-tujuan makroekonomi yang didasarkan kepada
pandangan dunia agama, yang menuntut pengekangan kepentingan diri sendiri.
Dalam
konteks problem tersebut, nilai-nilai moral/etika mempunyai kemampuan membantu
tugas ini, karena ia bisa dipergunakan untuk menciptakan keharmonisan sosial
dengan cara mereduksi kesenjangan antara kepentingan individu dan sosial dalam
mendorong penggunaan sumber-sumber daya langka selaras dengan keperluan untuk
mewujudkan tujuan.
Pasar tidak
mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas itu. Pasar perlu dilengkapi dengan
nilai-nilai moral yang membantu mengarahkan preferensi individu supaya selaras
dengan tujuan-tujuan humanitarian. Tujuan yang sedemikian, sulit dicapai
tanpa adanya reformasi pada tingkat individu dan sosial yang seirama dengan
nilai-nilai moral.
Persoalannya
adalah darimana nilai-nilai moral dalam ekonomi itu diambil, agar siapapun yang
melanggarnya dapat dihukum. Apakah ekonomi sosial dan beberapa mazhab positif
lainnya dapat menyediakannya? Apakah dari moralitas sosial? Mungkin jawabannya
adalah tidak. Karena moralitas sosial bergantung kepada standar yang
disepakatai sebagai konsensus yang diterima sebagai aksioma yang hampir tidak
bisa didiskusikan lagi. Utilitarianisme dan kontrak sosial tidak mempunyai
potensi dapat menyediakan nilai-nilai yang diterima oleh semua orang.
Oleh karena
itu, perbincangan tentang sumber nilai ini membawa kepada satu pembahasan
tentang ekonomi Islam, baik yang berhubungan dengan paradigma, tujuan dan
metode. Ini bukan bermakna akan menghapus teori-teori dan karya yang sophisticated
dalam ekonomi konvensional, akan tetapi menyempurnakan revolusi ilmiah yang
dilakukan oleh ilmu ekonomi konvensional. Kenapa ekonomi Islam? Jawapan
ringkasnya karena peluang untuk menciptakan suatu konsensus dalam dunia muslim
lebih besar jika bahasan masalah dilakukan dalam kerangka pandangan dunia
Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar