Analisis
RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan
Perkembangan praktek
nikah siri dalam masyarakat, menimbulkan asumsi bahwa tindakan nikah siri banyak
menimbulkan madarat bagi kaum wanita, sehingga pemerintah selaku
pengayom masyarakat berusaha untuk menangulangi hal ini dengan membuat sebuah
rancangan Undang-undang Hukum materiil peradilan agama bidang perkawinan yang
tujuan utamanya untuk menjaga kemaslahatan wanita yang selama ini dirugikan akibat
pernikahan siri.
Persoalan mendasar
yang perlu ditelah adalah apakah dalam RUU yang sedang dilegislasikan
pemerintah mengandung kemaslahatan bagi rakyatnya? Sebagimana dalam kaidah
fiqhiyyah disebutkan تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة (kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang
pemimpin harus memuat maslahah bagi rakyatnya.[1]
a. Analisis
Berdasarkan Epistimologi Empirikal (Bayani)
Untuk mencapi sebuah
analisis yang komprehensif akan dianalis beberapa Pasal dengan pendekatan ketiga
epistimoligi. Dalam memperkuat argumentasinya
epistimologi bayani menggunakan pendukung dari pendapat fuqaha, usuliyyin,
dan juga mutakalimin. Semakin mendekati sebuah teks maka kebenaran akan
semakin teruji. Secara empirik Pasal 142,
143, 148 dan 149 yang telah dijelaskan
di atas menimbulkan sejumlah problem. Asumsi mendasar yang akan timbul ketika
melihat pasal tersebut adalah adanya diskriminasi terhadap laki-laki. Karena
sejumlah pasal yang dicantumkan secara keseluruhan hanya menyangkut pihak
laki-laki. Dengan
adanya sebuah pendiskriminasian mengindikasikan bahwa RUU tersebut tidak
maslahah bagi warganya.
Imam Suyuti menegaskan bahwa pemerintah sebagi
pengayom masyarakat dalam membuat kebijakan harus mengandung sebuah
kemaslahatan. Salah satu nilai kemaslahatan adalah tidak diperbolehkan bagi
pemerintah membuat sebuah kebijakan yang mengandung pendiskriminasian ketika
adanya sebuah kebutuhan yang sama antara warganya.[2]Secara
empirik sejumlah rancangan Undang-undang yang telah disebutkan di atas bersifat
diskriminasi terhadap laki-laki. Pernikahan adalah sebuah kebutuhan yang
berimbang antara laki-laki dan perempuan sehingga pendiskriminasian terhadap
salah satu pihak tidak dibenarkan.
Pasal 142 disebutkan
bahwa, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan
kepada calon istri sebesar 500 juta. Dari pasal ini jelas adanya suatu
pemaksaan pemerintah terhap laki-laki. Menurut Imam nawawi, kebijkan yang
diharamkan adalah ketika suatu kebijakan mengandung penzoliman dan pemaksaan
terhadap masyarakat, atau mencegah terhadap sesuatu yang Allah telah
menghalalkan kepada mereka.[3]Dengan kebijakan pemerintah mewajibkan
uang jaminan bagi calon suami secara tidak langsung pemerintah telah berbuat
zolim terhadap penduduknya.
b. Analisis
Berdasarkan Epistimologi Rasional (Burhani)
Berbicara diskriminasai
terhadap laki-laki dalam pasal tersebut, maka tidak bisa terlepas dari
kedudukan laki-laki dalam pernikhan siri. Sifat Hukum adalah keadilan. Bagimana
menentukan apakah hukum itu adil? Perlu diperhatikan bahwa hukum bergerak
ditingkat faktual. Jadi yang dipersoalkan bukanlah pertanyaan etis tentang
objek keadilan, melainkan apa yang oleh masyarakat dianggap adil. Berbicara
keadilan, maka konteks yang dibicarakan adalah sosiologi hukum bukan
legistimasi etis. Oleh karena itu tuntutan keadilan dapat diterjemahkan kedalam
tuntutan bahwa hukum harus sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat
yang bersangkutan.[4]
Berdasarkan fakta
nikah siri banyak merugikan perempuan sebagi istri, sehingga seringkali muncul
beberapa persoalan seperti istri tidak dapat meminta gugat cerai secara legal
lantaran tidak adanya surat ketetapan akad pernikahan di hadapan pengadilan,
sementara suami tidak menceraikan, tidak menggaulinya dan tidak memberinya
hak-hak sebagi istri. Akibat selanjutnya hilangnya hak-hak istri yang telah
ditetapkan oleh syariat, seperti mas kawin, nafkah, hak perolehan warisan dan
hak-hak lainnya.[5]
Laki-laki dalam
pernikahan bersifat aktif artinya apakah pernikahan seorang suami akan
dilakukan secara siri ataupun tidak tergantung dari seorang laki-laki. Sehingga
wajar ketika Negara sebagai pembuat kebijakan hukum membuat RUU sebagian besar
Pasal hanya mengatur laki-laki. Hal ini sebagi proteksi terhadap ketidak
sewenang-wenangan mereka yang tidak bertanggung jawab dalam sejumlah kasus
nikah siri. Sebagimana dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan:
درء المفاسدأولى من جلب المصالح[6]
Dari kaidah di atas
disebutkan bahwa menolak terhadap sesuatu yang membahayakan lebih diutamakan
daripada menarik sebuah kemaslahatan. Pernikahan siri sebagimana yang telah
diuraikan banyak membawa dampak buruk baik terhadap perempuan maupun anak hasil
pernikahan, sehingga keputusan pemerintah membuat sebuah rancangan
Undang-undang adalah sebagi bentuk proteksi akan adanya kemadhorotan yang akan
ditimbulkan oleh nikah siri.
Tujuan legislasi hukum
adalah untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan bagi masyarakat. Menurut
Imam al-Ghazali dalam kitab mustasfa disebutkan bahwa kemaslahatan harus
mengandung lima unsur yaitu hifz al-din (menjaga agama), hifz al-nafs
(menjaga jiwa), hifz al-aql ( menjaga akal), hifz al-nasl (menjaga
keturunan), dan hifz al-mal (menjaga harta).[7]
Dilihat dampak nikah siri yang akan ditimbulkan maka keputusan pemerintah untuk
mengeluarkan RUU Hukum matriil peradilan agama bidang perkawinan adalah bentuk,
hifz al-nasl, dan hifz al-mal. Bentuk hifz al-Nasl dan hifz
al-Mal disini adalah menjaga nasab seorang anak hasil keturunan dari
pasangn suami istri, karena anak hasil pernikahan siri dianggap anak yang tidak
sah secara perundang-undangan positif sehingga hal ini berimplikasi tidak
mendapatkan waris anak tersebut ketika terjadi perceraiaan.
c. Anailisis
Berdasarkan Epistimologi Irasional (irfani)
Untuk menganalisis
sebuah perintah tuhan yang diwujudkan dalam sebuah hukum sangat penting dan
dibutuhkan penyentuhan realitas moral.
Berbicara moralitas dan keadilannya harus dipahami secara logis di luar budaya
hukum tertentu dan latar budaya tertentu. Mengabadi pada Tuhan berarti
menegakkan keadilan, dan menegakkan keadilan, moralitas, dan kemanusiaan.[8]
Sebagi sebuah
epistimologi, epistimologi irasional mengunakan pendekatan intuisi (hati) untuk
mencapi sebuah ilmu. Pernikahan adalah sebuah akad yang kuat (mitsaqon
golidzon).[9]
Ketika Negara tidak membatasi terhadap nikah siri maka apabila terjadi wanprestasi
terhadap perjanjian perkawinan, maka peluang putusnya perkawinan akan
terbuka secara bebas sesuka hati suami istri, tanpa ada akibat hukum, sehingga
semua kasus berdampak pada wanita atau istri dan anak hasil perkawinan. Dari
sinilah pentingnya tinjauan hati nurani untuk melihat suatu realita. Bagi
seorang yang menghendaki perkawinan yang langgeng maka pernikahan siri adalah
suatu keniscayaan. Sebagi suatu jalan untuk membendung adanya pernikahan siri
perlu adanya regulasi perundang-undangan yang secara khusus mengatur nikah
siri.
Dalam Pasal 143
dijelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan
tidak dihadapan pejabat pencatat nikah dipidana hukuman kurungan paling lama
enam bulan. Dari sanksi penjara yang ditetapkan RUU ini perlu peninjauan ulang.
Alasan logis yang dapat dipaparkan disini antara lain: pertama, keika sanksi
ini diterapkan justru akan berdampak mafsadat bagi kedua pihak. Seorang suami
yang berkewajiban mencari nafkah ketika dia dipenjara akibat nikah siri maka
akan berdampak tidak terpenuhinya ekonomi keluarga dan hal ini akan berujung
pada perceraian. Alasan kedua, sanksi pidana identik dengan sebuah hukuman bagi
tindak pidana kriminal. Padahal pernikahan adalah urusan perdata yang ini tidak
relefan adanya hukuman penjara. Maka bagi pemerintah cukup memasukkan sanksinya
dalam urusan administrasi sebagi konsekuensi pernikahan siri.
[1] Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Asbah wa al-Naza’ir dalam
software maktabah al-Syamilah, juz 1, hlm. 233.
[2] Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Asbah wa al-Naza’ir dalam
software maktabah al-Syamilah, juz 1, hlm. 233.
[3] Imam an-Nawawi, Majmu’ Syarhi al-Muhadzab, dalam software
al-Maktabah al-Syamilah, Juz 13, hlm. 29.
[4] Romany Sihite, Perempuan, kesetaraan, dan keadilan: Suatu
Tinjauan Berwawasan Gender (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.
130.
[5] Yusuf ad-Duraiwisy, Nikah siri, Mut’ah, dan Kontrak: dalam
Timbangan al-Qur’an dan as-Sunah, alih bahasa Muhammad Ashim (Jakarta:
Darul Haq, 2010), hlm. 250.
[6] Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti, al-Asybah wa an-Nazair,
(Surabaya: Irama Minasari, t.t.), hlm. 62.
[7] Al-Ghazali, al-Mustasfa, dalam software al-Maktabah
al-Syamilah juz 1, hlm. 43.
[8] Khaled Abu Fadel, Atas Nama Tuhan, trj. Cecep Lukman Yasin,
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 383.
[9]Khairuddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, (Yogyakarta:
ACAdeMIA & TAZZAFA, 2005), hlm. 24.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar