EKONOMI SYARIAH : TREND MASA DEPAN
Tidak bisa
dipungkiri, bahwa sebutan ekonomi Islam melahirkan kesan yang beragam. Bagi
sebagian kalangan, kata “Islam” memposisikan Ekonomi Islam pada tempat yang
sangat eksklusif, sehingga menghilangkan nilai kefitrahannya sebagai tatanan
bagi semua manusia (rahmatan lil’alamin). Bagi lainnya, ekonomi Islam
digambarkan sebagai ekonomi hasil racikan antara aliran kapitalis dan sosialis,
sehingga ciri khas spesifik yang dimiliki oleh Ekonomi Islam itu sendiri
hilang.
Umar Chapra
menyebut ekonomi Islam dengan Ekonomi Tauhid. Tapi secara umum dapat dikatakan
sebagai divine economics. Cerminan watak “Ketuhanan” ekonomi Islam bukan
pada aspek pelaku ekonominya -- sebab pelakunya pasti manusia -- tetapi pada
aspek aturan atau sistem yang harus dipedomani oleh para pelaku ekonomi. Ini
didasarkan pada keyakinan bahwa semua faktor ekonomi termasuk diri manusia pada
dasarnya adalah kepunyaan Allah, dan kepadaNya (kepada aturanNya) dikembalikan
segala urusan.
Sebagai
ekonomi yang ber-Tuhan maka Ekonomi Islam -- meminjam istilah dari Ismail Al
Faruqi -- mempunyai sumber “nilai-nilai normatif-imperatif”, sebagai acuan yang
mengikat. Dengan mengakses kepada aturan Ilahiah, setiap perbuatan manusia
mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas
dari nilai, yang secara vertikal merefleksikan moral yang baik, dan secara
horizontal memberi manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya.
Ekonomi
Islam pernah tidak populer sama sekali. Kepopuleran ekonomi Islam bisa
dikatakan masih belum lama. Oleh karena itu, sering muncul pertanyaan, apakah
ekonomi Islam adalah baru sama sekali? Jika melihat pada sejarah dan makna yang
terkandung dalam ekonomi Islam, ia bukan sistem yang baru. Argumen untuk hal
ini antara lain:
1. Islam sebagai agama samawi yang
paling mutakhir adalah agama yang dijamin oleh Allah kesempurnaannya, seperti
ditegaskan Allah dalam surat Al-Maidah (5):3. Di sisi lain, Allah SWT juga
telah menjamin kelengkapan isi Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia
yang beriman dalam menjalankan perannya sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firmannya QS Al-An’am (6):38,
ما فرطنا في الكتاب من شيء ثم الى ربهم يحشرون
2. Sejarah mencatat bahwa umat Islam
pernah mencapai zaman keemasan, yang tidak dapat disangkal siapapun. Dalam masa
itu, sangat banyak kontribusi sarjana muslim yang tetap sangat diakui oleh
semua pihak dalam berbagai bidang ilmu sampai saat ini, seperti matematika,
astronomi, kimia, fisika, kedokteran, filsafat dan lain sebagainya. Sejarah
juga membuktikan, bahwa sulit diterima akal sehat sebuah kemajuan umat dengan
begitu banyak kontribusi dalam berbagai lapangan hidup dan bidang keilmuan
tanpa didukung lebih awal dari kemajuan di lapangan ekonomi.
3. Sejarah juga mencatat banyak tokoh
ekonom muslim yang hidup dan berjaya di zamannya masing-masing, seperti Tusi,
Al-Farabi, Abu Yusuf, Ibnu Taimiyyah, Al-Maqrizi, Syah Waliyullah, Ibnu Khaldun
dan lain-lain. Bahkan yang disebut terakhir (Ibnu Khaldun) diakui oleh David
Jean Boulakia sebagai berikut: “Ibn Khaldun discovered a great number of
fundamental economic notions a few centuries before their official births. He
discovered the virtues and the necessity of a division of labor before (Adam)
Smith and the principle of labor before Ricardo. He elaborated a theory of
population before Malthus and insisted on the role of the state in the economy
before Keynes. The economist who rediscovered mechanisms that he had already
found are too many to be named.”
Ketiga
argumen dan indikator di atas dapat dipakai sebagai pendukung yang amat
meyakinkan bahwa sistem ekonomi Islam bukanlah hal baru sama sekali. Namun
patut diakui bahwa sistem yang pernah berjaya ini pernah tenggelam dalam masa
yang cukup lama, dan sempat dilupakan oleh sementara pihak, karena kuatnya dua
sistem yang pernah berebut simpati dunia yaitu sistem kapitalisme dan
sosialisme.
Sistem
ekonomi Islam mengalami perkembangan sejarah baru pada era modern. Menurut
Khurshid Ahmad, yang dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, ada empat tahapan
perkembangan dalam wacana pemikiran ekonomi Islam, yaitu:
1. Tahapan Pertama, dimulai ketika sebagian ulama, yang
tidak memiliki pendidikan formal dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki
pemahaman terhadap persoalan-persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba
untuk menuntaskan persoalan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu
haram dan kaum muslimin harus meninggalkan hubungan apapun dengan perbankan
konvensional. Masa ini dimulai kira-kira pada pertengahan dekade 1930-an dan
mengalami puncak kemajuannya pada akhir dekade 1950-an dan awal dekade 1960-an.
Pada masa itu di Pakistan didirikan bank Islam lokal yang beroperasi bukan pada
bunga. Sementara itu di Mesir juga didirikan lembaga keuangan yang beroperasi
bukan pada bunga bernama Mit Ghomir Local Saving. Tahapan ini memang masih
bersifat prematur dan coba-coba sehingga dampaknya masih sangat terbatas.
Meskipun demikian tahapan ini telah membuka pintu lebar bagi perkembangan
selanjutnya.
2. Tahapan kedua dimulai pada akhir dasa warsa
1960-an. Pada tahapan ini para ekonom Muslim yang pada umumnya dididik dan
dilatih di perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serika dan Eropa mulai mencoba
mengembangkan aspek-aspek tertentu dari sistem moneter Islam. Mereka melakukan
analisis ekonomi terhadap larangan riba (bunga) dan mengajukan alternatif
perbankan yang tidak berbasis bunga. Serangkaian konferensi dan seminar
internasional tentang ekonomi dan keuangan Islam digelar beberapa kali dengan
mengundang para pakar, ulama, ekonom baik muslim maupun non-muslim. Konferensi
internasional pertama tentang ekonomi Islam digelar di Makkah al-Mukarromah
pada tahun 1976 yang disusul kemudian dengan konferensi internasional tentang
Islam dan Tata Ekonomi Internasional yang baru di London pada tahun 1977.
Setelah itu digelar berbagai seminar tentang Ekonomi Moneter dan Fiskal serta
Perbankan Islam di berbagai negara.
Pada tahapan
kedua ini muncul nama-nama ekonom muslim terkenal di seluruh dunia Islam
anatara lain Prof. Dr. Khurshid Ahmad yang dinobatkan sebagai bapak ekonomi
Islam, Dr. M. Umer Chapra, Dr. M. A. Mannan, Dr. Omar Zubair, Dr. Ahmad
An-Najjar, Dr. M. Nejatullah Siddiqi, Dr. Fahim Khan, Dr. Munawar Iqbal, Dr.
Muhammad Ariff, Dr. Anas Zarqa dan lain-lain. Mereka adalah ekonom muslim yang
dididik di Barat tetapi memahami sekali bahwa Islam sebagai way of life
yang integral dan komprehensif memiliki sistem ekonomi tersendiri dan jika
diterapkan dengan baik akan mampu membawa umat Islam kepada kedudukan yang
berwibawa di mata dunia.
3. Tahapan ketiga ditandai dengan
upaya-upaya konkrit untuk mengembangkan perbankan dan lembaga-lembaga keuangan
non-riba baik dalam sektor swasta maupun dalam sektor pemerintah. Tahapan ini
merupakan sinergi konkrit antara usaha intelektual dan material para ekonom,
pakar, banker, para pengusaha dan para hartawan muslim yang memiliki kepedulian
kepada perkembangan ekonomi Islam. Pada tahapan ini sudah mulai didirikan
bank-bank Islam dan lembaga investasi berbasis non-riba dengan konsep yang
lebih jelas dan pemahaman ekonomi yang lebih mapan. Bank Islam yang pertama
kali didirikan adalah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah,
Saudi Arabia.
4. Tahapan keempat ditandai dengan
pengembangan pendekatan yang lebih integratif dan sophisticated untuk
membangun keseluruhan teori dan praktek ekonomi Islam terutama lembaga keuangan
dan perbankan yang menjadi indikator ekonomi umat.
Para pakar
ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang berbeda-beda, akan tetapi
semuanya bermuara pada pengertian yang relatif sama. Menurut M. Abdul Mannan,
ekonomi Islam adalah “sosial science which studies the economics
problems of people imbued with the values of Islam”. Menurut Khursid
Ahmad, ekonomi Islam adalah a systematic effort to try to understand the economic
problem and man’s behavior in relation to that problem from an Islamic
perspective.
1. Dari berbagai definisi tersebut,
dapatlah disimpulkan bahwa ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang
berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti, dan akhirnya menyelesaikan
permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami (berdasarkan
ajaran-ajaran agama Islam).
Tujuan utama
ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik dan terhormat (al-hayah
al-tayyibah). Ini merupakan definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam,
yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam
ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistik. Dengan demikian tujuan
sistem ekonomi Islam adalah berkait dengan tujuan yang tidak hanya memenuhi
kesejahteraan hidup di dunia saja (materialis) namun juga kesejahteraan hidup
yang lebih hakiki (akhirat). Allah SWT sebagai puncak tujuan, dengan
mengedepankan pencarian keridloan-Nya dalam segala pola perilaku sejak dari
konsumsi, produksi hingga distribusi.
Ilmu ekonomi
Islam mewakili suatu usaha sistematis yang dilakukan oleh para ekonom muslim
untuk melihat ulang keseluruhan persoalan ekonomi, termasuk metodologi ilmu
ekonomi dengan suatu pandangan untuk mengantarkan suatu solusi baru terhadap
persoalan-persoalan lama dan kini yang masih mengganggu. Pendekatan ini masih
dalam tahapan pertumbuhan awalnya, tetapi tidak diragukan lagi bahwa ia
merupakan suatu permulaan yang menjanjikan masa depan yang sangat besar dan
gemilang.
Umer Chapra,
merupakan salah satu di antara pemikir muslim yang melakukan kajian sangat
komprehensif mengenai masa depan ilmu ekonomi dalam pandangan Islam. Bukunya
yang berjudul The Future of Economics: An Islamic Perspective, telah
memberikan kontribusi yang sangat positif dalam area ini. Beliau telah
melakukan usaha yang besar untuk menghubungkan kembali ilmu ekonomi dengan
moral dan keadilan, sehingga menegakkan disiplin untuk membela nilai-nilai
kemanusiaan. Dalam buku tersebut, beliau melakukan hal-hal berikut:
a. Kritik ilmiah dan simpatik terhadap
ilmu ekonomi konvensional, dari sudut ekonomi maupun moral. Ia mengemukakan
keterbatasan dan kelebihannya. Ia tidak hanya mengkritik tetapi juga
memberikan solusi. Pendekatannya sangat kreatif dan positif. Beliau melihat di
mana suatu telah bergerak ke arah yang salah dan mengajukan apa yang diperlukan
untuk meluruskannya. Keprihatinannya tidak hanya terbatas kepada dimensi moral
dan sosial saja, tetapi juga memperkuat fondasi mikro dari ilmu ekonomi yang
diperlukan untuk memungkinkan mereka memperkuat fondasi kerangka makro dan
mencapai tujuan-tujuan sosial.
b. Kajian ini secara sistematik membawa
kembali fokus ilmu ekonomi kepada persoalan pemerataan, keadilan tanpa
memperlemah kepada efisiensi. Tujuan pemerataan dan efisiensi mesti dapat jalan
bersama.
c. Beliau meletakkan ilmu ekonomi Islam
dalam posisi yang tidak terpisah dengan ilmu ekonomi konvensional. Beliau
mengkaji persoalan-persoalan ekonomi dengan kaca mata Islam secara komprehensif
untuk mendapatkan view baru ilmu ekonomi yang berkeadilan, peduli pada
etika dan nilai-nilai spiritual.
d. Kajian ini telah menjelaskan secara
singkat tetapi padat dan tingkat tinggi tentang ilmu ekonomi Islam. Penjelasan
tersebut bukan merupakan suatu survei dalam arti kata teknik, ia menghadirkan
suatu pemandangan mengenai kontribusi utama terhadap ilmu ekonomi yang dibuat
dari pespektif Islam oleh para ekonom Islam pada abad-abad lalu.
e. Beliau melihat secara kritik sejarah
ekonomi muslim dengan suatu pandangan untuk melihat apa yang salah dalam
perjalanan sejarah umat Islam dan bagaimana kebangkitan riil dan pembangunan
sosioekonomi yang berkesinambungan dapat dicapai pada masa hadapan. Ia tidak
puas hanya dengan gambaran-gambaran ideal Islam, nilai-nilainya dan
prinsip-prinsipnya. Dengan menggunakan model Ibnu Khaldun, beliau menganalisis
sebab-sebab kemerosotan ekonomi dan politik umat Islam dengan suatu pandangan
untuk menemukan jalan penyembuhan dan rekonstruksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar