Senin, 28 November 2016
UAS MANDIRI MAKUL PENGANTAR KOMPUTER PAI NON REG
Silahkan download disini UAS Mandiri Pengantar Komputer Non Reg
Minggu, 20 November 2016
Bahan Kuliah Pengantar Akuntansi
Silahkan download di bawah ini :
Akuntansi Perusahaan Dagang Perusahaan Dagang
Akuntansi Perusahaan Dagang Perusahaan Dagang
Kamis, 17 November 2016
TUGAS UAS PERPAJAKAN
Silahkan download di bawah ini:
No Urut Absen Mahasiswa EKOS No Urut Absen
Petunjuk Ketentuan Tugas UAS Perpajakan
Pajak 1 : No Urut Absen : 1-2, 37 Tugas 1
Pajak 2 : No Urut Absen : 3-4, 38 Tugas 2
Pajak 3 : No Urut Absen : 5-6, 39 Tugas 3
Pajak 4 : No Urut Absen : 7-8, 40 Tugas 4
Pajak 5 : No Urut Absen : 9-10, 41 Tugas 5
Pajak 6 : No Urut Absen : 11-12, 42 Tugas 6
Pajak 7 : No Urut Absen : 13-14, 43 Tugas 7
Pajak 8 : No Urut Absen : 15-16, 44 Tugas 8
Hes 9 : No Urut Absen : 17-18, 45 Tugas 9
Pajak 10 : No Urut Absen : 19-20, 46 Tugas 10
Pajak 11 : No Urut Absen : 21-22, 47 Tugas 11
Pajak 12 : No Urut Absen : 23-24, 48 Tugas 12
Pajak 13 : No Urut Absen : 25-26, 49 Tugas13
Pajak14 : No Urut Absen : 27-28, 50 Tugas 14
Pajak 15 : No Urut Absen : 29-30, Tugas 15
Pajak 16 : No Urut Absen : 31-32, Tugas 16
Pajak 17 : No Urut Absen : 33-34 Tugas 17
Pajak 18 : No Urut Absen : 35-36 Tugas 18
No Urut Absen Mahasiswa EKOS No Urut Absen
Petunjuk Ketentuan Tugas UAS Perpajakan
Pajak 1 : No Urut Absen : 1-2, 37 Tugas 1
Pajak 2 : No Urut Absen : 3-4, 38 Tugas 2
Pajak 3 : No Urut Absen : 5-6, 39 Tugas 3
Pajak 4 : No Urut Absen : 7-8, 40 Tugas 4
Pajak 5 : No Urut Absen : 9-10, 41 Tugas 5
Pajak 6 : No Urut Absen : 11-12, 42 Tugas 6
Pajak 7 : No Urut Absen : 13-14, 43 Tugas 7
Pajak 8 : No Urut Absen : 15-16, 44 Tugas 8
Hes 9 : No Urut Absen : 17-18, 45 Tugas 9
Pajak 10 : No Urut Absen : 19-20, 46 Tugas 10
Pajak 11 : No Urut Absen : 21-22, 47 Tugas 11
Pajak 12 : No Urut Absen : 23-24, 48 Tugas 12
Pajak 13 : No Urut Absen : 25-26, 49 Tugas13
Pajak14 : No Urut Absen : 27-28, 50 Tugas 14
Pajak 15 : No Urut Absen : 29-30, Tugas 15
Pajak 16 : No Urut Absen : 31-32, Tugas 16
Pajak 17 : No Urut Absen : 33-34 Tugas 17
Pajak 18 : No Urut Absen : 35-36 Tugas 18
Rabu, 16 November 2016
TUGAS UAS HUKUM EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA
Silahkan download di bawah ini:
No Urut Absen Mahasiswa HES No Urut Mahasiswa
Petunjuk Petunjuk UAS
Hes 1 : No Urut Absen : 1-2, 31 Tugas 1
Hes 2 : No Urut Absen : 3-4, 32 Tugas 2
Hes 3 : No Urut Absen : 5-6, 33 Tugas 3
Hes 4 : No Urut Absen : 7-8, 34 Tugas 4
Hes 5 : No Urut Absen : 9-10, 35 Tugas 5
Hes 6 : No Urut Absen : 11-12, 36 Tugas 6
Hes 7 : No Urut Absen : 13-14, 37 Tugas 7
Hes 8 : No Urut Absen : 15-16, 38 Tugas 8
Hes 9 : No Urut Absen : 17-18, 39 Tugas 9
Hes 10 : No Urut Absen : 19-20, 40 Tugas 10
Hes 11 : No Urut Absen : 21-22, 41 Tugas 11
Hes 12 : No Urut Absen : 23-24, 42 Tugas 12
Hes 13 : No Urut Absen : 25-26, 43 Tugas 13
Hes 14 : No Urut Absen : 27-28, 44 Tugas 14
Hes 15 : No Urut Absen : 29-30, 45 Tugas 15
No Urut Absen Mahasiswa HES No Urut Mahasiswa
Petunjuk Petunjuk UAS
Hes 1 : No Urut Absen : 1-2, 31 Tugas 1
Hes 2 : No Urut Absen : 3-4, 32 Tugas 2
Hes 3 : No Urut Absen : 5-6, 33 Tugas 3
Hes 4 : No Urut Absen : 7-8, 34 Tugas 4
Hes 5 : No Urut Absen : 9-10, 35 Tugas 5
Hes 6 : No Urut Absen : 11-12, 36 Tugas 6
Hes 7 : No Urut Absen : 13-14, 37 Tugas 7
Hes 8 : No Urut Absen : 15-16, 38 Tugas 8
Hes 9 : No Urut Absen : 17-18, 39 Tugas 9
Hes 10 : No Urut Absen : 19-20, 40 Tugas 10
Hes 11 : No Urut Absen : 21-22, 41 Tugas 11
Hes 12 : No Urut Absen : 23-24, 42 Tugas 12
Hes 13 : No Urut Absen : 25-26, 43 Tugas 13
Hes 14 : No Urut Absen : 27-28, 44 Tugas 14
Hes 15 : No Urut Absen : 29-30, 45 Tugas 15
Jumat, 11 November 2016
ANALISIS RUU HUKUM MATERIIL PERADILAN AGAMA BIDANG PERKAWINAN
Analisis
RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan
Perkembangan praktek
nikah siri dalam masyarakat, menimbulkan asumsi bahwa tindakan nikah siri banyak
menimbulkan madarat bagi kaum wanita, sehingga pemerintah selaku
pengayom masyarakat berusaha untuk menangulangi hal ini dengan membuat sebuah
rancangan Undang-undang Hukum materiil peradilan agama bidang perkawinan yang
tujuan utamanya untuk menjaga kemaslahatan wanita yang selama ini dirugikan akibat
pernikahan siri.
Persoalan mendasar
yang perlu ditelah adalah apakah dalam RUU yang sedang dilegislasikan
pemerintah mengandung kemaslahatan bagi rakyatnya? Sebagimana dalam kaidah
fiqhiyyah disebutkan تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة (kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang
pemimpin harus memuat maslahah bagi rakyatnya.[1]
a. Analisis
Berdasarkan Epistimologi Empirikal (Bayani)
Untuk mencapi sebuah
analisis yang komprehensif akan dianalis beberapa Pasal dengan pendekatan ketiga
epistimoligi. Dalam memperkuat argumentasinya
epistimologi bayani menggunakan pendukung dari pendapat fuqaha, usuliyyin,
dan juga mutakalimin. Semakin mendekati sebuah teks maka kebenaran akan
semakin teruji. Secara empirik Pasal 142,
143, 148 dan 149 yang telah dijelaskan
di atas menimbulkan sejumlah problem. Asumsi mendasar yang akan timbul ketika
melihat pasal tersebut adalah adanya diskriminasi terhadap laki-laki. Karena
sejumlah pasal yang dicantumkan secara keseluruhan hanya menyangkut pihak
laki-laki. Dengan
adanya sebuah pendiskriminasian mengindikasikan bahwa RUU tersebut tidak
maslahah bagi warganya.
Imam Suyuti menegaskan bahwa pemerintah sebagi
pengayom masyarakat dalam membuat kebijakan harus mengandung sebuah
kemaslahatan. Salah satu nilai kemaslahatan adalah tidak diperbolehkan bagi
pemerintah membuat sebuah kebijakan yang mengandung pendiskriminasian ketika
adanya sebuah kebutuhan yang sama antara warganya.[2]Secara
empirik sejumlah rancangan Undang-undang yang telah disebutkan di atas bersifat
diskriminasi terhadap laki-laki. Pernikahan adalah sebuah kebutuhan yang
berimbang antara laki-laki dan perempuan sehingga pendiskriminasian terhadap
salah satu pihak tidak dibenarkan.
Pasal 142 disebutkan
bahwa, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan
kepada calon istri sebesar 500 juta. Dari pasal ini jelas adanya suatu
pemaksaan pemerintah terhap laki-laki. Menurut Imam nawawi, kebijkan yang
diharamkan adalah ketika suatu kebijakan mengandung penzoliman dan pemaksaan
terhadap masyarakat, atau mencegah terhadap sesuatu yang Allah telah
menghalalkan kepada mereka.[3]Dengan kebijakan pemerintah mewajibkan
uang jaminan bagi calon suami secara tidak langsung pemerintah telah berbuat
zolim terhadap penduduknya.
b. Analisis
Berdasarkan Epistimologi Rasional (Burhani)
Berbicara diskriminasai
terhadap laki-laki dalam pasal tersebut, maka tidak bisa terlepas dari
kedudukan laki-laki dalam pernikhan siri. Sifat Hukum adalah keadilan. Bagimana
menentukan apakah hukum itu adil? Perlu diperhatikan bahwa hukum bergerak
ditingkat faktual. Jadi yang dipersoalkan bukanlah pertanyaan etis tentang
objek keadilan, melainkan apa yang oleh masyarakat dianggap adil. Berbicara
keadilan, maka konteks yang dibicarakan adalah sosiologi hukum bukan
legistimasi etis. Oleh karena itu tuntutan keadilan dapat diterjemahkan kedalam
tuntutan bahwa hukum harus sesuai dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat
yang bersangkutan.[4]
Berdasarkan fakta
nikah siri banyak merugikan perempuan sebagi istri, sehingga seringkali muncul
beberapa persoalan seperti istri tidak dapat meminta gugat cerai secara legal
lantaran tidak adanya surat ketetapan akad pernikahan di hadapan pengadilan,
sementara suami tidak menceraikan, tidak menggaulinya dan tidak memberinya
hak-hak sebagi istri. Akibat selanjutnya hilangnya hak-hak istri yang telah
ditetapkan oleh syariat, seperti mas kawin, nafkah, hak perolehan warisan dan
hak-hak lainnya.[5]
Laki-laki dalam
pernikahan bersifat aktif artinya apakah pernikahan seorang suami akan
dilakukan secara siri ataupun tidak tergantung dari seorang laki-laki. Sehingga
wajar ketika Negara sebagai pembuat kebijakan hukum membuat RUU sebagian besar
Pasal hanya mengatur laki-laki. Hal ini sebagi proteksi terhadap ketidak
sewenang-wenangan mereka yang tidak bertanggung jawab dalam sejumlah kasus
nikah siri. Sebagimana dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan:
درء المفاسدأولى من جلب المصالح[6]
Dari kaidah di atas
disebutkan bahwa menolak terhadap sesuatu yang membahayakan lebih diutamakan
daripada menarik sebuah kemaslahatan. Pernikahan siri sebagimana yang telah
diuraikan banyak membawa dampak buruk baik terhadap perempuan maupun anak hasil
pernikahan, sehingga keputusan pemerintah membuat sebuah rancangan
Undang-undang adalah sebagi bentuk proteksi akan adanya kemadhorotan yang akan
ditimbulkan oleh nikah siri.
Tujuan legislasi hukum
adalah untuk menciptakan keadilan dan kemaslahatan bagi masyarakat. Menurut
Imam al-Ghazali dalam kitab mustasfa disebutkan bahwa kemaslahatan harus
mengandung lima unsur yaitu hifz al-din (menjaga agama), hifz al-nafs
(menjaga jiwa), hifz al-aql ( menjaga akal), hifz al-nasl (menjaga
keturunan), dan hifz al-mal (menjaga harta).[7]
Dilihat dampak nikah siri yang akan ditimbulkan maka keputusan pemerintah untuk
mengeluarkan RUU Hukum matriil peradilan agama bidang perkawinan adalah bentuk,
hifz al-nasl, dan hifz al-mal. Bentuk hifz al-Nasl dan hifz
al-Mal disini adalah menjaga nasab seorang anak hasil keturunan dari
pasangn suami istri, karena anak hasil pernikahan siri dianggap anak yang tidak
sah secara perundang-undangan positif sehingga hal ini berimplikasi tidak
mendapatkan waris anak tersebut ketika terjadi perceraiaan.
c. Anailisis
Berdasarkan Epistimologi Irasional (irfani)
Untuk menganalisis
sebuah perintah tuhan yang diwujudkan dalam sebuah hukum sangat penting dan
dibutuhkan penyentuhan realitas moral.
Berbicara moralitas dan keadilannya harus dipahami secara logis di luar budaya
hukum tertentu dan latar budaya tertentu. Mengabadi pada Tuhan berarti
menegakkan keadilan, dan menegakkan keadilan, moralitas, dan kemanusiaan.[8]
Sebagi sebuah
epistimologi, epistimologi irasional mengunakan pendekatan intuisi (hati) untuk
mencapi sebuah ilmu. Pernikahan adalah sebuah akad yang kuat (mitsaqon
golidzon).[9]
Ketika Negara tidak membatasi terhadap nikah siri maka apabila terjadi wanprestasi
terhadap perjanjian perkawinan, maka peluang putusnya perkawinan akan
terbuka secara bebas sesuka hati suami istri, tanpa ada akibat hukum, sehingga
semua kasus berdampak pada wanita atau istri dan anak hasil perkawinan. Dari
sinilah pentingnya tinjauan hati nurani untuk melihat suatu realita. Bagi
seorang yang menghendaki perkawinan yang langgeng maka pernikahan siri adalah
suatu keniscayaan. Sebagi suatu jalan untuk membendung adanya pernikahan siri
perlu adanya regulasi perundang-undangan yang secara khusus mengatur nikah
siri.
Dalam Pasal 143
dijelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan
tidak dihadapan pejabat pencatat nikah dipidana hukuman kurungan paling lama
enam bulan. Dari sanksi penjara yang ditetapkan RUU ini perlu peninjauan ulang.
Alasan logis yang dapat dipaparkan disini antara lain: pertama, keika sanksi
ini diterapkan justru akan berdampak mafsadat bagi kedua pihak. Seorang suami
yang berkewajiban mencari nafkah ketika dia dipenjara akibat nikah siri maka
akan berdampak tidak terpenuhinya ekonomi keluarga dan hal ini akan berujung
pada perceraian. Alasan kedua, sanksi pidana identik dengan sebuah hukuman bagi
tindak pidana kriminal. Padahal pernikahan adalah urusan perdata yang ini tidak
relefan adanya hukuman penjara. Maka bagi pemerintah cukup memasukkan sanksinya
dalam urusan administrasi sebagi konsekuensi pernikahan siri.
[1] Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Asbah wa al-Naza’ir dalam
software maktabah al-Syamilah, juz 1, hlm. 233.
[2] Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Asbah wa al-Naza’ir dalam
software maktabah al-Syamilah, juz 1, hlm. 233.
[3] Imam an-Nawawi, Majmu’ Syarhi al-Muhadzab, dalam software
al-Maktabah al-Syamilah, Juz 13, hlm. 29.
[4] Romany Sihite, Perempuan, kesetaraan, dan keadilan: Suatu
Tinjauan Berwawasan Gender (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.
130.
[5] Yusuf ad-Duraiwisy, Nikah siri, Mut’ah, dan Kontrak: dalam
Timbangan al-Qur’an dan as-Sunah, alih bahasa Muhammad Ashim (Jakarta:
Darul Haq, 2010), hlm. 250.
[6] Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuti, al-Asybah wa an-Nazair,
(Surabaya: Irama Minasari, t.t.), hlm. 62.
[7] Al-Ghazali, al-Mustasfa, dalam software al-Maktabah
al-Syamilah juz 1, hlm. 43.
[8] Khaled Abu Fadel, Atas Nama Tuhan, trj. Cecep Lukman Yasin,
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 383.
[9]Khairuddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, (Yogyakarta:
ACAdeMIA & TAZZAFA, 2005), hlm. 24.
EPISTIMOLOGI IRASIONAL
EPISTIMOLOGI
IRASIONAL
Pendahuluan
Proses keilmuan manusia terjadi karena bertemunya
subjek ilmu dengan objek ilmu. Maka
suatu ilmu pada dasarnya terdiri dari tiga unsure, subjek, objek dan pertemuan
keduanya. Apa hakikat ketiga hal itu dan bagaimana peran masing-masing unsure
tersebut dalam proses keilmuan? Dan lain sebaginya. Pertanyaan-pertanyaan ini
dalam sejarah filsafat, merupakan proses kefilsafatan yang berkaitan dengan
asumsi dasar dari proses keilmuan itu sendiri. Tentang hal ini ada banyak
aliran kefilsafatan yang menyumbangkan pemikirannya.
Keempat aliran kefilsafatan itu adalah rasionalisme,
emperisme, kritisisme, dan intuisinsme. Dua aliran pertama memiliki perbedaan
yang cukup ekstrim, yang ketiga adalah aliran yang berupaya mendamaikan kedua
aliran sebelumnya. Sedangkan aliran keempat adalah aliran yang sampi saat ini
sedang mencari dukungan epistemologis dan juga metodologis untuk suatu
pengetahuan yang bersumber (origin) dari pengalaman (batin).
Dalam makalah ini akan dibahas sedikit banyak tetang
aliran Irasional. Aliran rasional ini dalam dunia Barat kurag begitu
mendapatkan tempat, hal ini dikarenakan dalam dunia barat telah banyak
terilhami oleh aliran rasionalisme. Sedangkan dalam Isam sendiri aliran ini
banyak pengikutnya karena aliran ini ecara faliditas keislaman telah bayak mendapat
tempat. Allah berfirman dalam al-Qura’an:
“Dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia
memberi kamu pendengaran (rasionalisme),
penglihatan (empirisme) dan hati (intuisionisme), agar kamu bersyukur.”
PEMBAHASAN
A. Epistimologi Irasional Barat
Melengkapi
pemkiran-pemikiran aliran filsafat sebelumnya, ada aliraan filsafat yang juga
tidak sedikit pengikiutnya termasuk sampai hari ini, yaitu intuisionisme
(irasionalisme). Aliran ini dipopulerkan oleh Henry
Bergson (1859-1941). Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk
mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah
kemungkinan adanya suatu bentuk penghayatan langsung (intuitif), disamping
pengalaman indra. Setidaknya, dalam beberapa hal intuisionisme tidak mengingkari
nilai pengalaman indrawi, kendati diakui bahwa pengetahuan yang sempurna adalah
yang diperoleh melalui intuisi.[1]
Harold H.Titus memberikan catatan,
bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda
dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh indra dan akal; dan bahwa intuisi yang
ditemukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan kita untuk
mendapatkan pengetahuan langsung yang mengatasi (transcendent) pengetahuan kita
diperoleh dari indra dan akal.[2]
Secara epistimologi, pengetahuan
intuitif berasal dari intuisi (hati) yang diperoleh melalui pengamatan
langsung, tidak mengenai objek lahir melainkan mengenai objek lahir melainkan
mengenai kebenaran dan hakikat sesuatu objek.[3]
Dalam tradisi Islam, para sufi menyebut pengetahuan ini sebagi rasa yang
mendalam (zauq) yang berkaitan dengan peraepsi batin. Dengan demikian
pengetahuan intuitif sejenis pengetahuan yang dibeikan oleh Tuhan kepada
seseorang dan pada kalbunya sehingga tersingkaplah olehnya sebagian rahasia dan
tampaklah olehnya sebagian realitas. Perolehan pengetahuan ini bukan dengan
jalan penyimpulan logis sebagimana pengetahuan rasional, melainkan dengan jalan
kesalehan, sehingga seseorang memiliki kebeningan kalbu dan wawasan spiritual
yang prima.[4]
Henry Bergson (1859-1941) seorang
filosoh Perancis modern yang beraliran intuisionisme, membagi pengetahuan
menjadi dua macam; “pengetahuan mengenai (knowledge about) dan “pengetahuan tentang” (knowledge
of). Pengetahuan pertama disebut dengan pengetahuan diskursif atau simbolis dan
pengetahuan kedua disebut dengan pengetahuan langsung atau pengetahuan intuitif
karena diperoleh secara langsung. Atas dasar perbedaan ini, Bergson menjelaskan
bahwa pengetahuan diskursif diperoleh melalui simbol-simbol yang mencoba
menyatakan kepada kita “mengenai” sesuatu dengan jalan berlaku sebagi terjemah
bagi sesuatu itu. Oleh karenanya, ia tergantung kepada pemikiran dari sudut
pandang atau kerangka acuan tertentu yang dipakai dan sebagai akibat maupun
kerangka acuan yang digunakan itu. Sebaliknya pengetahuan intuitif adalh
merupakan pengetahuan yang nisbi
ataupun tanpa lewat perantara. Ia melewati sifat lahiriah pengetahuan simbolis
yang pada dasrnya bersifat analitis dan memberikan pengetahuan tentang objek
secara keseluruhan. Maka dari itu menurut Bergson, intuisi adalah sesuatu
sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.[5]
Lebih lanjut Bergson mengatakan
bahwa intuisi sebenarnya adalah naluri (instinct)
yang menjadi kesadaran diri sendiri dan dapat menuntun kita kepada kehidupan
dalam (batin). Jika intuisi dapat meluas maka ia dapat memberi petunjuk dalam
hal-hal yang vital. Jadi, dengan intuisi kita dapat menemukan “elan vital” atau dorongan yang vital
dari dunia dari dalam dan langsung, bukan dengan intelek.[6]
Salah satu diantara unsur-unsur yang
berharga dalam intuisionisme Bergson adalah, paham ini memungkinkan adanya
suatu bentuk pengalaman, di samping pengalaman yang dihayati oleh indra. Dengan
demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi
pengetahuan, disamping pengetahuan yang dihasilkan oleh pengindraan.
Douglas V. Steere dalam Mysticsm,
mengatakan bahwa pengetahuan intuisi yang ditermukan orang dalam
penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan yang
langsung dan mengatasi (transcend) pengetahuan yang kita peroleh dengan
akal dan indra. Mistisisme atau mistik diberi batasan sebagi kondisi orang yang
amat sadar tentang kehadiran yang maha rill (the condition of being
overwhelmingly awar of the presence of the ultimately real). Kata Steere
pula, intuisi dalam mistik bahkan memilki implikasi yang lebih jauh sebab
mungkin dijelmakan menjadi persatuan aku dan Tuhan pribadi (al-ittihad)
atau kesadaran kosmis (wahdah al-wujud).[7]
Dalam kajian filsafat barat, intuisi
(irasional), ini agaknya belum sepenuhnya diterima sebagai sumber pengetahuan
tetapi baru ta menjadi embrio.[8] Mario
Bunge secara tegas menyatakan bahwa intuisi bukan merupakan metode yang aman
untuk dipakai, karena ia dapat mudah tersesat dan mendorong pada
pengakuan-pengakauan yang tidak masuk akal. Karena itu, kebenaran intuisi harus
ditopang dengan data indra dan konsep-konsep akal. Kebenaran intuisi yang tidak
ditopang dengan akal dan indra kalah nilainya dibanding kebenaran lain yang didukung
bukti mesti tanpa intuisi. [9]
B.
Epistimologi Irasional dalam Islam
Dalam khazanah keislaman pemikiran
Islam dikenal juga adanya sumber pengetahuan. Akan tetapi, berbeda dengan barat
yang disebut dengan empirisme, rasionalisme dan intuisme, dalam islam dikenal
dengan bayaniyyun, burhaniyyun, dan irfaniyyun..[10]
Metode irfani adalah sebuah metode berfikir
yang tidak didasarkan pada teks melainkan atas kasyaf, tersingkapnya
rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu pengetahuan irfani tidak
diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah rohani, dimana dengan
kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung
kepadanya. Yaitu masuk dalam fikiran, dikionsep kemudian dikemukakan kepada
orang lain secara logis. Persoalannya bagimana makna atau dimensi batin yang
diperoleh dari kasyaf tersebut
diungkapkan? (1), diungkapkan dengan cara i’tibar atau qiyas
irfani. Yakni analog makna batin yang ditangkap dalam kasyaf yang ada dalam teks, (2) diungkapkan lewat syatahat,
suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdan) karena limpahan
pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti
ungkapan “Maha Besar Aku” dari Abu Yazid Bustamim, atau Ana al-Haqqi dari
al-Hallaj.[11]
Dalam
sejarah filsafat Islam, sedikitnya berkembang lima aliran utama: Pertama,
Teologi dialektika (‘ilmu al-Kalam); kedua, filsafat peripetatik
(Masy sya’iyah); ketiga, Tasawuf dan Mistisisme-Filosofis
(Gnosis) atau kadang disbut teosofis (‘irfan), khususnya yang
dikembangkan oleh Ibnu ‘Arabi; keempat Hikmah iluminisme ( isyraqiyah)
atau terkadang disebut iluminisme saja, yang dikembangkan oleh Suhrawardi dan; kelima,
hikmah Sublim atau Hikamah Transenden (al-Hikmah al-Muta’aliyah)
yang dikembangkan oleh Mulla Sadra.[12]
Meskipun, aliran yang disebutkan
pertma dan kedua yakni filsafat peripatetik dan teologi, juga memberikan
kontribusinya sendiri kepada Genosis (irfan atau Tasawuf Filosofis), israqiyah,
dan hikmah sublime, hanyalah ketiga aliran yang disebut belakangan yang bisa
disebut sebagai filsafat-filsafat mistis dalam Islam.[13]Adapun
filsafat-filsafat mistis yang telah disebutkan diatas sebagi berikut:
1. Aliran Iluminisme (isyraqiyah)
Syihab al-Din Yahya ibnu Habasy ibnu
Amirak Abu al-Futuh Suhrawardi dalam sejarah filsafat Islam terkenal sebagi
bapak iluminasi (isyraqiyah). Suhrawardi
lahir di kota kecil Suhraward di Persia barat laut pada 549 H/ 1154 M.
Beliau menemui ajalnya sangat tragis melalui eksekusi di Aleppo pada 587 H/
1191 M dan arena itulah kadang disebut guru yang terbunuh.[14]
Prinsip terpenting yang dibangun
oleh Suhawardi ketika pertama kali dalam sejarah Islam, ia membedakan secara
gambalang dua pembagian metafisika: metaphysica generalis dan metaphysica
specialis. Yang pertama, sebagaimana yang dipandang oleh filsafat
baru, melibatkan diskusi-diskusi standar tentang subjek-subjek seperti
eksistensi, kesatuan, substansi, aksiden, waktu, gerak, dan sebagainya,
sedangkan yang kedua melibatkan pendekatan ilmiah yang baru untuk
menganalisis masalah-masalah suprarasional seperti eksistensi dan pengetahuan
Tuhan, mimpiyang benar, pengalaman visioner, imajinasi.[15]
Prinsip dasar iluminasionis adalah
bahwa mengetahui sesuatu berarti memperoleh pengalaman tentangnya (knowledge
of), serupa dengan intuisi primer terhadap determinan-determinan sesuatu.
Pengetahuan berdasarkan pengalaman dianalisis hanya setelah pemahaman intuitif
yang total dan langsung tentangnya.[16]Filsafat
iluminasi seperti tergambarkan dalam karya-karya Suhrawardi, terdiri atas tiga
taahap. Tahap pertama, ditandai dengan persiapan pada diri filosof: ia harus
meninggalakan dunia (zuhud) agar mudah menerima pengalaman. Tahap kedua adalah
tahap iluminiasi (pencerahan), ketika filosof mencapai visi melihat “cahaya
ilahi” (ma’rifat). Tahap ketiga, atau tahap kontruksi, yang ditandai dengan
perolehan dan pencapaian pengetahuan tak terbatas (ittihad) yaitu pengetahuan
iluminasi (al-‘Ilmu al-isyraqi) itu
sendiri. Tahap keempat dan terakhir menjadi (insane al-kamil), atau bentuk
pengalaman visioner yang ditulis ulang.[17]
Ringkasnya, salah satu landasan
filsafat iluminasi adalah bahwa hukum-hukum yang mengatur penglihatan dan visi
didasarkan pada kaidah sama, yang terdiri dari eksistensi cahaya, tindakan
visi, dan tindakan iluminasi. Jadi dalam filsafat iluminasi, penglihatan, visi,
tindakan-tindakan kreatif dengan keluasaan semua hal dapat dijelaskan melalui
eksistensi cahaya.[18]
2. Aliran Hikmah Sublim ( Al-Hikmah al-Muta’aliyah)
Muhammad ibnu Ibrahim Yahya Qawami
Syirazi, yang dikenal dengan nama Shadr al-Din Syirazi atau Mulla sadra sebagai
pendiri aliran ini, dilahirkan di Syiraz pada 979 H/ 1571 M dari keluarga Qawam
yang terkenal dan terhormat. Ayahnya dikenal sebagai penasihat raja dan bekerja
sebagai ahli hokum di pemerintahan Safawi, tepatnya di propinsi Fars.[19]
Selain membagi pengetahuan yang
terlibat di dalamnya menjadi empirikal, rasional, dan intuitif atau
eksperiensil, epistimologi Islam tradisional juga membagi pengetahuan menjadi
dua. Pertama, pengetahuan berdasarkan representasi atau disebut
pengetahuan capaian (al-‘Ilmu al-hushuli atau al-ma’rifah al-hushuliyah,
acquired knowledge); dan kedua, pengetahuan huduri atau
disebut pengetahuan presensial (al-‘ilmu al-huduri atau al-ma’rifah
al-huduriyah,presential knowledge by presence ).[20]Dilihat
dari nama-nama yang dipakai untuk menyebut kedua pengetahuan itu, pembagian
pengetahuan menurt jalur ini terkait dengan keberadaan objek terhadap akal manusia
sebagai fakultas dalam proses mengetahui. Dalam pengetahuan capaian, objek
berada diluar akal manusia. Lewat sebuah proses representasi objek tersebut
kepada akal, seorang menjadi tahu tentang objek tersebut. Sedangkan dalam
pengetahuan presensial, objek telah ada atau hadir, istilah hadir berarti
bersifat hadir atau imanen, karena itu objeknya disebut bersifat imanen.[21]
Pengetahuan yang bersifat intuitif,
langsung, dan sederhana, yakni pengetahuan yang tidak membutuhkan perantara
forma dan konsep-konsep mental adalah instansi-intansi dalam kelompok ilmu yang
disebut sebagi ilmu presensial.[22]
Mulla Sadra meyakini bahwa seluruh pengetahuan manusia pada dasarnya diperoleh
secara langsung (presensial atau hudhuri), kendati secara prima faice
pengetahuan berperantara (represenentional atau husuli), sebagaimana
yang diyakni oleh filusuf-filusuf sebelumnya. Berikut penjelsannya:[23]
Mental atau pikiran (dzihn)
manusia, sebagaimana ia dengan satu cara mampu menangkap forma atau konsep dari
objek-objek di luar (dirinya), juga dengan cara lain dapat menyerap forma atau
konsep dari objek-objek di dalam (dirinya) yang diketahui secara hudhuri.
Dalam hal yang disebut belakangan, konsep “hadir” dalam diri “subjek
pengetahuan” tanpa perantara konsep lain. Dengan kata lain, pada saat
mengetahui “subjek” menyerap konsep yang sebelumnya telah diperoleh lewat representasi-secara
langsung tanpa perantara (konsep lain) lagi, karena seperti sudah disinggung di
atas dalam hal pencerapan konsep mental, seandainya konsep dalam pengetahuan
husuli memerlukan perantara konsep lain, maka pengetahuan husuli tidak akan
pernah diperoleh selamanya, kareana konsep kedua yang menjadi perantara akan
memerlukan perantara konesep yang ketiga dan seterusnya.[24]
Eksistensi mental (wujud dzhni) adalah sebuah
topik yang langsung diwarisi Mulla Sadra dari kaum sufi. Konsep ini didasarkan
pada gagasan terkenal mengenai kesatuan wujud ( wahdah al-wujud),
prinsipialitas atau fundamentalitas wujud (ashala wujud) yang disongkong
Mulla Sadar. Selain itu Mulla Sadra juga meyakini bahwa wujud adalah
realitas tunggal (uniter) dengan tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda
(ambiguitas gradasi wujud tasykik al-wujud ). Eksestansi mental juga salah
satu dari tingktan tersebut. Namun,setiap tingkatan merupakan sebuah
manifestasi yang disebut oleh kaum sufi dengan hadrah (hadirat),sebuah “gelar”
penghormatan yang akar katanya sama dengan hudruri,yang berarti
kehadiran,sebuah realitas ilahiah. Segala sesuatu mempunyai manifestasinya yang
tepat dalam setiap hadrat. Akal dan jiwa manusia juga merupakan tingkatan
wujud, sehingga juga merupakan hadirat. Dengan demikian, memahami sesuatu
berarti kehadiran eksistensi sesuatu itu sebagaimana ia termanifestasi dalam
hadirat jiwa. Ini merupakan manifestasi sesuatu yang sama dalam eksistensi
mentalnya sebagaimana ia termanifestasi dalam eksistensi materiilnya.[25]
Kita telah melihat bahwa asal-muasal perbedaan
antara pengetahuan presensial dan pengetahuan capaian bearkar dari persoalan
sumber tertinggi pengetahuan manusia, apakah itu sebagai kuiditas ataukah
eksistensi. Jika kuiditas, maka pengetahuan bersifat capaian atau
representasional, sedangkan jika itu eksistensi, pengetahuan manusia menjadi
pengetahuan presensial. Mulla Shadra bahkan melacak sumber pengetahuan capaian
hingga kepengetahuan presensial. Ia berpendapat bahwa tanpa pengetahuan presensial,
pengetahuan capaian tidak akan valid. Namun, dunia wujud adalah dunia yang di
dalamnya berbagai eksistensi terpisah satu sama lain, yang satu absen dari yang
lain. Jadi,bagaimana eksisten-eksisten (mengada-mengada atau maujud-maujud)
dalam kondisi yang terpisah dan absen ini enjadi hadir dalam diri-diri manusia?
Dalam pandangan kaum sufi, yang kemudian diikuti oleh Mualla Shadra, hal itu
terjadi melalui kemiripan yang terpersepsi antara eksistensi dan pengetahuan
presensisal.
Eksistensi
dan pengetahuan presensial akhirnya menjadi menyatu dan merupakan realitas
tunggal. Ada juga indikasi mengenai hal ini dalam kata Arab yang digunakan
untuk eksistensi, wujud, yang- seperti disinggung sebelumnya- berasal dari akar
yang sama wujid, yang berarti menemukan dan memahami. Pada tingkat pengetahuan
presensial, perbedaaan-perbedaan diantara mengada-mengada
(eksistensi-eksistensi atau maujud-maujud) hilang dan semuanya menyatu dalam
cahaya pengetahuan, dan semuanya muncul dari ketidak adaan kepada kehadiran. Menurut
Mualla Shadra,seperti juga Suhrawardi,”Pengetahuan tiada lain kecuali kehadiran
wujud tanpa penghalang”.
Dalam
pengetahuan presensial tidak dapat dinisbatkan adanya suatu kebenaran dan kesalahan.
Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pengetahuan presensial pastilah benar. Ini
hanya berarti bahwa gagasan kebenaran dan kesalahan itu sendiri tidak dapat
diterapkan pada Pengetahuan presensial. Kategori benar dan salah hanya berlaku
bagi pengetahuan representasional. Lalu bagaimana kita dapat membedakan
pengetahuan presensional yang benar dari yang salah. Maka kebenaran yang
berlaku bagi pengetahuan presensial adalah sama dengan pemahaman mengenai ada
atau wujud, yaitu suatu ‘makna eksistensial kebenaran.’Karena itu pengetahuan
presensial menjadi bagian pembahasan tentang tatanan hidup. Dalam fisafat ini, ketika
seseorang berkata, misalnya Tuhan adalah sang kebeanaran, ia sesungguhnya
sedang mengatakan bahwaTuhan ada atau Tuhan adalah wujud niscaya. Pengetahuan
bahwa Tuhan itu ada lebih merupakan sebuah pengalaman dari pada sesuatu yang
dibuktikan atau ditunjukkan. Pengertian ini sesungguhnya merupakan sebuah
konsepsi yang jauh lebih luas tentang apa pengetahuan itu. Disini, pengetahuan
hampir sinonim dengan wujud. Dalam pengertian ini, dikatakan bahwa ia yang
lebih mengetahui adalah lebih ada. Bagi jenis pengetahuan ini secara per se,
tidak ada persoalan verifikasi public, karena pengalaman sepenuhnya
bersifat personal. Ketidak berlakuan kebenaran dan kesalahan bagi pengetahuan
presensial dapat dipahami dari kenyataan bahwa pengetahuan presensial sangat
sulit didiskripsikan dengan kata-kata.
Mulla Shadra memerinci pandangannya tentang subjek
pengetahuan mistik dalam bukunya yang berjudul se ‘ashl. Mulla Shadra mendefinisikan
jenis pengetahuan mistis dan cara mempersepsi yang menurutnya merupakan
satu-satunya kebenaran. Kemudian ia menguraikan perbedaannya dari sumber-sumber
pengetahuan yang lain dan menekankan bahwa pengetahuan tersebut termasuk jenis
pengetahuan intuitif melalui kehadiran atau pengetahuan presensial.
Mulla Sadra berpendapat bahwa
persepsi realitas-ada mustahil, kecuali melalui observasi langsung dan
kehadiran: “maka, pengetahuan (akan realitas eksistensi) didapat melalui satu
dari dua cara: observasi presensial (musyahadah huduriyah) atau
penalaran terhadapnya melalui akibat-akibat dan implikasi-implikasinya.
Meskipun dengan cara yang disebut belakanga ini, (realitas eksistansi) tidak
akan tertangkap, kecuali dalam keadaan lemah.[26]
Berikut ini adalah pelajaran
terperinci Mulla Sandara tentang pengetahuan mistis:[27]
1. Yang dimaksud di sini, bukan pengetahuan
yang disebut flsafat, bukan pula pengetahuan seperti yang dikenl para filosofis.
Para filosofis (yang disebutnya kaum paripatetk) maupun kaum telog
(mutakalimin) belu menyentuh sama sekali.
2. Pengetahuan ini, seperti pengetahuan
Tuhuan tentang segala sesuatu, adalah pengetahuan melalui kehadiran.
3. Pengetahuan sejati adalah cahaya.
Laiknya tampilan dunia materiterlihat dengan bantuan sinar matahari, cahaya
pengetahua dan iman bagi kaum gnosis sejati menyikapi realitas berbagi dunia.
4. Pengetahuan tersebut adalah pengetahuan
diri seseorang yang menjadi “kunci segala pengetahuan.”siapa pun yang tidak
mempunyai pengetahuan diri tidak memiliki jiwa, karena eksestensi jiwa identik
dengnan cahaya, kahadiran, dan kesadran
5. Pengetahuan ini identik dengan iman.
Iman sejati diperoleh manusia yang mencapai tingkatan cahaya jiwa. Kaum beriman
(mukmin) adalah orang yang mengenal Tuhan
6. Pengetahuan ini tidak diperoleh melalui
indara dan akal. Indara-indara ini tentu saja dibutuhkan dalam satu hal, tetapi
untuk hal lain malah menjadi penghalang.
3. Aliran Teosofi (‘Irfan)
Aliran ini dipelopori oleh Ibn
Arabi. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ibnu ‘Ali ibnu Muhammad ibnu
al-‘Arabi al-Thai al-Tamimi, lahir di Mursia, Spanyol bagian tenggara, 17
Ramadhan 560 H/28 Juli 1165 M. Ibnu Arabi berasala dari keluarga keturunan Arab
yang saleh, dimana ayah dan pamannya dari jalur ibu adalah took sufi, dan ia
digelari Muhyi al-Din.[28]
Prinsip dasar aliran ini tidak jauh berbeda
dengan aliran sebelunya (aliran iluministik). Prinsip dasar aliran ini adalah
bahwa mengetahui sesuatu sama dengan memperoleh suatu pengalaman tentangnya,
yang berarti intuisi langsung atas determinan-determinan sesuatu yang diketahui
itu. Bahwa pengetahuan eksperinsial tentang Sesutu dianalisis, diyakini, secara
diskursif-demonstrasional-hanya setelah meraihnya secra total, intuitif da
langsung (immediate).
Perbedaan antara aliran ini dan
aliran sebelumnya tedapat dalam ontologiya. Sementara ‘irfan mempromosikan
semacam keserbatunggalan wujud atau eksistensi (being) (tauhd wujud)
sedangkan iluminisme mengidentikan wujud dengan cahaya, dan non wujud dengan
kegelapan, sedangkan diantara keduaya terdapat berbagai wujud antara cahay dan
kegelapan.[29]
C. Refleksi Epistimologi
Irasional dalam Hukum Keluarga
Merefleksikan epistimologi
irasional pada dasrnya bukan perefleksian secara objektif. epistimologi ini
menuntut terhadap pembacanya untuk mengetahui sejauh mana tingkatan sesorang
yang telah merefleksikan epistimologi irasional. Orang akan mudah terjebak dalam
perselisihan ketika mereka tidak saling memahami. Jika epistimologi irasional
sendiri ukuran validitasnya adalah supra logis, Maka penalaran terkadang justru
tidak dibutuhkan. Akan tetapi dalam tulisan ini akan berusaha direfleksikan pengetahuan
yang berasal dari Tuhan sehingga untuk mengukur kebenarannya pun dengan melihat
teks Tuhan yang menyebutkan hal yang demikian. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès?
¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Untuk menganalisis sebuah perintah tuhan yang diwujudkan dalam
sebuah hukum sangat penting dan dibutuhkan penyentuhan realitas moral. Berbicara moralitas dan keadilannya
harus dipahami secara logis di luar budaya hukum tertentu dan latar budaya
tertentu. Mengabdi pada Tuhan berarti menegakkan keadailan, dan menegakkan
keadailan, moralitas, dan kemanusiaan.[30]
Dalam Surat
al-Nisa’ di atas, secara tekstual terkandung hukum kebolehan poligami. Akan
tetapi lebih bijak ketika melihat suatu ayat ditarik dari latar belakang atau
menurut Fazlur Rahman dengan melihat kontek historis ayat itu. Surat al-Nisa’
turun pada abad ke-4. Konteks historis
ayat ini berhubungan dengan perang uhud pada tahun 3 H. Perang uhud yang
melibatkan pasukan nabi mengalami sejumlah pengalaman yang menyedihkan karena
70 sahabat nabi meninggal sebagi syuhada. Secara otomatis dengan meninggalnya
70 sahabat nabi, memunculkan 70 janda dan anak-anak yatim yang terlantar. Pada
saat itu kondisi masyarakat Arab masing bersistimkan kesukuan atau tribalisme.
Nabi sebagi seorang yang mempunyai kekuasaan Islam pada saat itu mempunyai
tanggung jawab moral yang begitu besar. Kemudian dengan kedaan Negara yang
belum begitu mapan Rasullullah memperbolehkan poligami kepada sahabatnya untuk
menjaga janda-janda dan anak yatim. Jia Melihat konteks
historis ayat yang memperbolehkan poligami sebagi solusi sosisal. Konsekuensinya,
poligami adalah pengecualian, bukan hukum yang dengan mudah memporbolehkan
poligami dengan tanpa persyaratan yang ketat.
Epistimologi
irasional mengunakan pendekatan intuisi (hati) untuk mencapi sebuah ilmu.
Poligami sebagi ketentuan hukum ditinjau dari epistimologi irasional perlu
dilihat dari nailai-nilai moral yang berekembang di dalam masyarakat. Secara
hati nurani bagi kaum hawa poligami minyisahkan sejumlah problematika yang
begitu mendalam. Nilai keadilan yang temaktub secara tekstual dalam surat
al-Nisa’ perlu dikembalikan kepada nilai adil secara moral. Ketika poligami
secara hati nurani telah menyisahkan sejumlah problem maka poligami bukan
merupakan tujuan pokok dari sebuah ketentuan hukum yang terdapat dalam ayat
tersebut.
KESIMPULAN
Secara epistimologi, pengetahuan
Irasional (intuitif) berasal dari intuisi (hati) yang diperoleh melalui
pengamatan langsung, tidak mengenai objek lahirmelainkan mengenai kebenaran dan
hakikat sesuatu objek. Dalam tradisi Islam, para sufi menyebut pengetahuan ini
sebagi rasa yang mendalam (zauq) yang berkaitan dengan peraepsi batin. Dengan
demikian pengetahuan intuitif sejenis pengetahuan yang dibeikan oleh Tuhan
kepada seseorang dan pada kalbunya sehingga tersingkaplah olehnya sebagian rahasia
dan tampaklah olehnya sebagian realitas. Perolehan pengetahuan ini bukan dengan
jalan penyimpulan logis sebagimana pengetahuan rasional, melainkan dengan jalan
kesalehan, sehingga seseorang memiliki kebeningan kalbu dan wawasan spiritual
yang prima
Kebenaran pengetahuan irasional
(intuitif) diukur dengan berbagai ukuran. Bila pengetahuan irasional itu
berasal dari tuhan, maka ukurannya ialah teks Tuhan yang menyebutkan demikian.
Ada kalanya ukuran kebenaran irasional kepercayaan. Jadi sesuatu dianggap benar
karena kita mempercayainya. Ada kalanya kebenaran suatu teori dalam pengetahuan
irasional diukur dengan bukti empiris.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabiri, Bunyah al-Aqla al-‘Arabi
Beirut: Markaz as-Saqafi, 1991.
Douglas V. Steere, “Misticism” dalam a Handbook
of Cristian Theology New York: World, 1958.
Ensklopedi Tematis Filsafat Islam’’ buku pertama,
ter. Mizan, Bandung: Mizan, 2003.
Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Jurnalisme Seribu Mata Basis menembus Fakta, Yayasan
BP Basis Anggota SPS. 2006.
Khudari Soleh, Wacana
Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Pengantar
Filsafat, Louis
A. Kattsoff, ter. Soejono Soemargono Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004.
Titus, Harold H., dkk., Persoalan-persoalan
Filsafat, terj. H.M. Rosyid, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Waryani Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu Topik-topik Epistimologi Yogyakarta: Integrasi Interkoneksi
Pres, 2011.
[1] Waryani
Fajar Riyanto, Filsafat Ilmu Topik-topik
Epistimologi (Yogyakarta: Integrasi Interkoneksi Pres, 2011), hlm. 203.
[2] Harold H. Titus, dkk,
Persoalan-Persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 205.
[5] Pengantar Filsafat, Louis A. Kattsoff,
ter. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), hlm. 140.
[7]
Douglas V. Steere, “Misticism” dalam a Handbook of Cristian Theology
(New York: World, 1958), hlm.236.
[8] Titus, Harold H., dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, terj.
H.M. Rosyid,. ( Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 204.
[10] Ibid.
[11]
Al-Jabiri, Bunyah al-Aqla al-‘Arabi (Beirut: Markaz as-Saqafi, 1991),
hlm. 38.
[14] Ensklopedi Tematis Filsafat Islam’’ buku pertama, ter. Mizan, (
Bandung: Mizan, 2003), hlm. 544.
[15] Ibid. hlm. 553.
[16] Ibid. hlm. 566.
[17] Ibid.
[19] Jurnalisme Seribu
Mata Basis menembus Fakta, Yayasan BP Basis Anggota SPS. 2006. Hlm. 4.
[22] Ibid.
[23] Ibid
[24] Ibid. hlm. 10.
[25] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Khudari Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 138.
[30]
Khaled Abu Fadel, Atas Nama Tuhan, trj.
Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 383.
Langganan:
Postingan (Atom)