Kamis, 03 November 2016

POSITIVISTIC APPROACH EKONOMI SYARIAH

POSITIVISTIC APPROACH EKONOMI SYARIAH

Mulawarman (2010)melihat bahwa se-lama ini yang dilakukan oleh para pengamat dan predictor ekonomi Islam/Syariah mung-kin belum lengkap, karena menggunakan

Positivistic Approach, terlalu berorientasi pendekatan matematis dan kuantitatif, serta outward looking. Baik perkembangan Inter-nasional maupun Regional tersebut biasan-ya menggunakan model pengukuran yang mirip dengan perhitungan-perhitungan dan asumsi-asumi dasar Ekonomi konvensional, seperti penghitungan indeks, (jumlah bank syariah, jumlah lembaga keuangan non-bank syariah, maupun ukuran aset keuan-gan syariah yang memiliki bobot terbesar, dan lainnya). Berdasarkan ukuran-ukuran kuantitatif seperti itu dapat dilihat betapa laju ekspansi kelembagaan dan akselerasi pertumbuhan aset perbankan syariah yang sangat tinggi, ditambah dengan volume penerbitan sukuk yang terus meningkat. Berdasarkan logika yang sama, dapat kita lihat misalnya laporan-laporan penuh an-gka yang menakjubkan dan membuat kita terkesima dengan perkembangan perbankan syariah seperti dilansir tiap bulan oleh Bank Indonesia. Sehingga lupa dengan “kenyata-an” ekonomi Islam berada di “bumi” Indone-sia yang mayoritas petani dan UKM (inward looking). Sesuai kaidah yang dipakai, meli-hat perkembangan ekonomi Indonesia ter-masuk ekonomi Islam di Indonesia biasanya lebih familiar bila masuk dalam kerangka positivisme.

Positivistic Approach mengedepankan model: to explain and to predict. Perkemban-gan ekonomi Islam yang dipakai Positivistic Approachsebagai tolok ukur seperti desain blue print “top-down”, prospek-kendala kro-nologis, struktural kelembagaan, pertum-buhan linier, dan lebih banyak pendekatan proyeksi statistik. Hal ini sesuai dengan alur berpikir positivistik (atau dapat dikatakan se-bagai penegas atas logika positivisme dalam teori ekonomi) Milton Friedman (1953/1966), Samuelson, Hutchison dan ekonom-ekonom mutakhir saat belakangan. Sebagaimana di-tuliskan dalam artikel fenomenal Friedman yaitu The Methodology of Positive Economics tujuan utama dari positive science adalah mengembangkan teori atau hipotesis secara empiris, matematis, materialistic, melalui kekuatan explanasi validitas dan makna prediksi mengenai fenomena terobservasi. Pengembangan teori dan hipotesis positivis-tic bagi Friedman tak dapat lepas dari logika ekonomi dasar atau normative economics itu sendiri, sepertiprice of products atau faktor-faktor produksi sertainterelasi antara supply dan demand di market berkenaan dengan kebermanfaatan (utility) dan kegunaan (use-fulness) serta kelangkaan (scarcity) berorien-tasi pada self-interestbehavior dan berujung pada pembentukan permodelan (abstract model). Pendekatan positivistic juga ber-laku pada manajemen (FW Taylor dengan

Principles of Scientific Management) maupun akuntansi (Positive Accounting Theory yang dilansir secara formal oleh Watts dan Zim-merman). Baik di domain ekonomi, manaje-men/bisnis, maupun akuntansi, positivisme sebenarnya merupakan gerakan empiricism untuk melegitimasi sifat dasar kemanusiaan Barat, yaituSelf Interest.

Banyak kritik terhadap PositivisticAp-proach oleh para ekonom Barat sendiri (misal Leontif 1982; Ormerod 1994; Lawson 2002 dan banyak lainnya). Kritik Leontif (1982) mengatakan bahwa jurnal-jurnal eko-nomi didominasi dan telah terdesain rumus matematika sampai permodelan dan masuk lebih dalam untuk mengeksplore ekonomi lewat angka-angka untuk memotret beroper-asinya system ekonomi yang nyata. Menurut Lawson (2002; 5-7) merupakan kesalahan pilihan metode ilmu ekonomi dalam melihat realitas, ekonomi yang telah terjebak dalam konsep dan rumusan ekonometrik. Teta-pi bagi Lawson (2002) ilmu ekonomi tidak hanya terjebak pada kesalahan metode saja, tetapi juga terjebak dalam kesalahan inkon-sistensi pada level teori sosial dan metodol-ogis. Level teori sosial berkenaan dengan aliran ekonomi mainstream yang meng-gunakan ekonometrik sebagai alat untuk memperjelas pilihan (choice) manusia yang deterministic dan individualistic, berujung pada sinyal “take the form of market prices”. Sedangkan pada level metodologis, realitas ekonomi hanya berkenaan masalah pilihan matematis (ekonometrik) atau tidak, tetapi lebih pada penggunaan metode yang jelas di-pengaruhi oleh masalah filosofi, belief system dan mentalitas. Kritik epistemologis sebena-rnya juga disampaikan Choudhury (2005). Beliau melihat bahwa Ekonomi Islam saat ini masih mengidap penyakit akut ekonomi konvensional dan terjebak “afeigned kind of neoliberal and neoclassical doctrinaire”. Usulan melakukan reorientasi epistemologis ekonomi Islam dengan melakukan induksi Tawhid secara tegas. Meskipun demikian, Choudhury (2005) tetap menyepakati digu-nakannya metodologi/metode positivistic.

Dua mencoba memahami ekonomi dalam perspektif yang lebih meta paradig-matik, menarik semua simpul ekonomi pada ukuran yang sama, yaitu kesejahteraan dan keadilan masyarakat sebagai puncak kepent-ingan ekonomi. Michael Dua menyimpulkan bahwa bila ekonomi di-filsafati, maka yang menjadi pemikiran semua gerbong ekonomi, baik aliran kapitalis, sosialis, ekonomi sosial atau ekonomi lingkungan, adalah dua kata magis, yaitu keadilan dan kesejahteraan. Dua kata magis ini memerlukan apa yang dinamakannya sebagai Etika Berekonomi, Berekonomi dengan Hati. Sayangnya apa yang dilakukan oleh Michael Dua nampak-nya masih berputar pada sekularisasi eko-nomi dan juga bukan melakukan perubahan signifikan atas ekonomi yang ada. Yang di-lakukannya hanyalah melakukan pemba-caan ulang atas dogma-dogma ekonomi yang dominan dan dengan melihat kembali pada akar pikiran masing-masing dogma, Michael Dua mencoba menarik kata kunci yang ada di seluruh dogma, yaitu keadilan dan kes-ejahteraan yang berhati nurani.

Pikiran Dua (2008) sepertinya mirip dengan apa yang telah digagas oleh Sen (1987). Bila dilihat dari perspektif yang leb-ih teoritis, menarik apa yang ditulis oleh O’hara (2002) berkenaan dengan bagaimana mensinergikan pemikiran ekonomi Marx, Veblen, Keynes dan Schumpeter dengan apa yang dinamakannya sebagai Critical Eco-nomics Systems Approach. Tetapi sekali lagi, apa yang dibincangkan oleh O’hara adalah bagaimana menyelesaikan masalah ekonomi dalam koridor yang sama, yaitu bagaima-na menyelesaikan masalah kesejahteraan dan keadilan dalam sistem ekonomi, pros-es sosioekonomi dan pendekatan distribusi kekayaan dalam koridor multiple capital (diri-sosial-alam).

Pilihan lain dari melakukan telaah fil-safat atas ekonomi, juga telah banyak di-lakukan. Kita lihat misalnya yang dilakukanCapra atau Zohar dan Marshall. Bagi mer-eka pilihan filsafat ekonomi yang melampaui filsafat menjadi penting, yaitu melakukan spiritualisasi ekonomi. Capra misalnya, dari berbagai bukunya yang digulirkan seperti

The Tao of Physics, TheTurning Point, The Web Life atau yang terbaru The Hidden Con-nection, semua yang berkenaanekonomi di-hubungkan dengan karakter utama spiri-tualitas organis postpatriarkal. Ekonomi yang harus dikedepankan adalah ekonomi yang memiliki spirit organis dalam bingkai alam semesta. Lebih mudah lagi, spiritual-isasi ekonomi harus mengedepankan sin-ergi organis untuk keseimbangan kepent-ingan materi-batin-spiritual dalam diri-sos-ial-alam. Pikiran ini juga mirip dengan apa yang dilakukan oleh Zohar dan Marshall dalam bukunya Spiritual Capital. Logika Zo-har dan Marshall, melihat bahwa yang dike-jar oleh setiap manusia sebenarnya adalah satu kata kunci, yaitu Capital. Bagi mereka yang perlu dilakukan adalah melakukan

“beyond”capital, yaitu capital bernilai materi, sosial sekaligus spiritual untuk menangkap sinyalkepentingan diri-sosial-alam.


Sebenarnya pemikiran yang lebih menarik adalah apa yang dilakukan oleh Schumacher, dengan simbol Small is Beau-tifull yang kemudian difilsafati dengan A Guide forthe Perplexed (1981). Buku relatif lama ini sebenarnya telah melakukan lon-catan sejarahnyasendiri, yang mencoba me-narik ekonomi dalam konteks filsafat den-gam memberikan model pencerahan baru, keluar dari dominasi ekonomi mainstream. Pikiran Schumacher sebenarnya bisa dijadi-kan model pikiran baru dalam ekonomi yang memiliki “ruh” Ketuhanan. Tetapi memang masalahnya adalah Schumacher tidak bisa melakukan penurunan konteks normatifnya menjadi lebih membumi dan aplikatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar