Selasa, 01 November 2016

GORESAN KEGAGALAN EKONOMI KAPITALIS DAN LAHIRNYA MAZHAB POSITIF EKONOMI GLOBAL

CATATAN KAGAGALAN EKONOMI KAPITALIS DAN LAHIRNYA MAZHAB POSITIF EKONOMI GLOBAL
Kegagalan ilmu konvensional kapitalis dalam menciptakan keadilan sosial dan menyelesaikan persoalan manusia sudah tidak terbantah. Secara internasional hal itu dapat disimak melalui buku The Death of Economics karya Ormerod (1998), atau melalui buku Economics as Religion karya Nelson (2001). Sedangkan secara nasional, hal itu dapat disimak melalui buku Ekspose Ekonomika karya Sri-Edi Swasono (2005). Sesuatu yang menggembirakan adalah bahwa telah terjadi perkembangan yang positif dalam ilmu ekonomi, di mana banyak pakar ekonomi telah melakukan kritik tajam terhadap kegagalan ilmu ekonomi konvensional kapitalis dan menyumbangkan pemikirannya dengan mengemukakan ide-ide yang mengarah kepada perbaikan paradigma ilmu ekonomi menuju yang lebih baik, yaitu perhatian terhadap nilai-nilai moral, etik, dan keadilan sosial. Misalnya dikemukakan oleh Thomas Friedman ketika diadakan konferensi Davos, Agustus 1997 yang menghimpun para pemimpin dari seluruh dunia. Ia mengatakan yang artinya: “Serangan terhadap mereka yang akan membangun dunia pada basis satu dimensi, di mana perdagangan adalah segalanya, di mana hanya perhitungan-perhitungan finansial saja yang perlu, dengan mudah akan menemui serangan moral potensial terhadap globalisasi”.
Amitai Etzioni menyatakan bahwa paradigma ilmu ekonomi neoklasik pada hakikatnya tidak hanya mengabaikan dimensi moral, tetapi juga menolak dimasukkannya moral ke dalam paradigmanya. Oleh karena itu perlu ada paradigma baru dalam ilmu ekonomi yaitu perlunya dimasukkan nilai-nilai moral, karena hanya dengan cara itulah memungkinkan untuk mencari mana yang benar dan mana yang menyenangkan.
Christofam Buarque, menyatakan bahwa kegagalan ilmu ekonomi dalam pandangannya terletak kepada pengabaian nilai-nilai sosial dan etika. Tujuan sosial telah dikesampingkan dan dipandang sebagai konsekuensi dari kemajuan teknik daripada sebagai tujuan peradaban. Sementara itu, nilai-nilai etika telah dipinggirkan. Perlu ada suatu perubahan fundamental dalam pendekatan, penyusunan kembali prioritas-prioritas secara total. Pendekatan yang dimaksudkan yaitu:
1.      suatu etika untuk melakukan redifinisi tentang tujuan peradaban.
2.      suatu definisi baru tentang sasaran dan area kajian
3.      suatu landasan baru bagi ilmu ekonomi sebagai suatu disiplin.  
Timothy Gorringe menyatakan bahwa mereduksi manusia yang homo sapiens (makhluk bijaksana) dengan hanya homo economicus yang secara rasional memaksimalkan utiliti, bertindak berasas self interest saja merupakan reduksi yang sangat telak terhadap nilai-nilai moral. Oleh karena itu perlu didirikan mahkamah international untuk keadilan ekonomi.
Clive Hamilton mengungkapkan bahwa ilmu ekonomi berkait dan bersepakat dengan kehidupan manusia, sedangkan manusia adalah makhluk yang berperasaan selain berakal, oleh karena itu ekonomi modern yang mengabaikan perasaan (moral/etika) dan spirituality merupakan kesalahan yang sangat telak. Memahami sesuatu dengan hanya berasaskan akal semata merupakan pemahaman yang tidak lengkap.
Sejak terbitnya buku Max Weber The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904-1905) orang yakin adanya hubungan erat antara (ajaran-ajaran) agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi. Weber memang mulai dengan analisis ajaran agama Protestan (dan Katolik), meskipun menjelang akhir hayatnya dibahas pula agama Cina (1915, Taoisme dan Confucianisme), India ( 1916 Hindu dan Budha), dan Yudaisme (1917).
Sementara Kurt W. Rothschild memberikan salah satu metode penyelesaian problem etika dalam ekonomi. Beliau menyatakan bahwa fairness (sebagai salah satu kategori etika) dapat menjadi jembatan penghubung antara keadilan dan efisiensi dalam ilmu ekonomi. Walaupun mungkin akan terjadi penyimpangan yang sedikit dari yang diidealkan, akan tetapi konflik dasar antara nilai-nilai etika dan ekonomi hanya dapat didamaikan dengan baik melalui cara ini.
Lain halnya dengan  Edward E. Zajac, dalam buku Political Economy of Fairness, beliau menjelaskan beberapa teori keadilan ekonomi baik yang bersifat normatif maupun positif ekonomi seperti John Rowls’ Theory of Justice, Robert Nozick Theory of superfairness (normatif) dan Perceived Economic Justice in Public Utility Regulation (positif) dan sebagainya. Perbincangan dalam buku ini selalu mengkaitkan antara makro dan mikro ekonomi, karena sumber persoalan moral dalam ekonomi, di antaranya karena tidak mesranya link antara makro dan mikro ekonomi. Ini seperti telah banyak dikritik tentang pembagian makro dan mikro itu tidak tuntas.
Sehubungan dengan banyaknya kritik terhadap ekonomi konvensional kapitalistik, saat ini telah muncul berbagai mazhab ekonomi positif kritis,  diantaranya:
1.      Grant Economics  yang menyatakan bahwa perilaku altruistic tidak mesti dianggap sebagai suatu penyimpangan terhadap rasionaliti. Perlu ada integrasi antara self interest dan altruisme. Menyamakan atau menyederhanakan perilaku rasional hanya dengan mementingkan diri sendiri adalah tidak realistik.
2.      Ekonomi humanistic yang menekankan perlunya pembentukan asas-asas humanismenya untuk mendorong kesejahteraan manusia dengan mengakui dan mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan dasar. Mazhab ini tidak menganut utilitarianisme kuno tetapi psikologi humanistic.
3.      Ilmu ekonomi sosial yang mencakup usaha untuk revolusi teori ekonomi dipadukan dengan petimbangan-pertimbangan moral. Menurut Amartya Sen (2001), menjauhkan ilmu ekonomi dari etika berati telah mengerdilkan ilmu ekonomi welfare dan juga melemahkan basis deskriptif dan prediktif ilmu ekonomi. Hausaman, salah satu pendukung paham ini, suatu perekonomian yang secara aktif melakukan kritik diri sendiri dengan aspek-aspek moral akan menjadi lebih menarik, lebih bersinar, dan lebih bermanfaat.
4.      Ilmu ekonomi institusional yang beranggapan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh berbagai lembaga yang saling berkaitan seperti sosial, ekonomi, politik, dan agama.
Kesulitan yang dihadapi oleh ilmu ekonomi konvensional telah diuji oleh sejumlah pakar ekonomi terkemuka dalam suatu kajian, Economics in The Future: Towards a New Paradigm. Konsensus yang muncul dari buku ini adalah bahwa yang diperlukan untuk menyelamatkan ilmu ekonomi dari krisis yang sedang dialaminya, bukanlah dengan melakukan penafsiran teori ini atau teori itu atau melakukan perubahan-perubahan dalam paradigma ilmu ekonomi, tetapi yang diperlukan adalah mengubah paradigma itu sendiri dan bergerak menuju paradigma baru di mana problem-problem ekonomi tidak dikaji secara terpisah, tetapi dikaji dalam konteks keseluruhan sistem sosial, di mana ide-ide, visi masyarakat, dan nilai-nilai moral tidak disembunyikan, tetapi mendapatkan tempat dalam parameter yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan ekonomi. Perekonomian modern telah gagal untuk menjamin keadilan distributif, pertumbuhan yang berkesinambungan, pembangunan manusia yang seimbang, dan keharmonisan sosial. Hubungan antara nilai-nilai moral, keputusan ekonomi dan gelagat individu telah mengalami goncangan pada masa ekonomi konvensional kapitalis.
Menurut Umar Chapra, revolusi ilmiah dalam ekonomi konvensional tidak komplit sehingga menyebabkan tiadanya mata rantai yang tegas antara mikroekonomi dan makroekonomi. Kurangnya mata rantai penghubung antara makroekonomi dan mikroekonomi telah menimbulkan ketidakpuasan di kalangan para ahli ekonomi. Justeru dalam kenyataannya seakan-akan terjadi pertentangan antara makroekonomi dan mikroekonomi. Analisis mikroekonomi yang didasarkan kepada kebebasan individu berlebihan memberi perhatian lebih kepada efisiensi dengan pareto, tetapi tidak memperhatikan realisasi tujuan-tujuan makroekonomi yang didasarkan kepada pandangan dunia agama, yang menuntut pengekangan kepentingan diri sendiri.
Dalam konteks problem tersebut, nilai-nilai moral/etika mempunyai kemampuan membantu tugas ini, karena ia bisa dipergunakan untuk menciptakan keharmonisan sosial dengan cara mereduksi kesenjangan antara kepentingan individu dan sosial dalam mendorong penggunaan sumber-sumber daya langka selaras dengan keperluan untuk mewujudkan tujuan.
Pasar tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas itu. Pasar perlu dilengkapi dengan nilai-nilai moral yang membantu mengarahkan preferensi individu supaya selaras dengan tujuan-tujuan humanitarian. Tujuan yang sedemikian, sulit dicapai tanpa adanya reformasi pada tingkat individu dan sosial yang seirama dengan nilai-nilai moral.
Persoalannya adalah darimana nilai-nilai moral dalam ekonomi itu diambil, agar siapapun yang melanggarnya dapat dihukum. Apakah ekonomi sosial dan beberapa mazhab positif lainnya dapat menyediakannya? Apakah dari moralitas sosial? Mungkin jawabannya adalah tidak. Karena moralitas sosial bergantung kepada standar yang disepakatai sebagai konsensus yang diterima sebagai aksioma yang hampir tidak bisa didiskusikan lagi. Utilitarianisme dan kontrak sosial tidak mempunyai potensi dapat menyediakan nilai-nilai yang diterima oleh semua orang.
Oleh karena itu, perbincangan tentang sumber nilai ini membawa kepada satu pembahasan tentang ekonomi Islam, baik yang berhubungan dengan paradigma, tujuan dan metode. Ini bukan bermakna akan menghapus teori-teori dan karya yang sophisticated dalam ekonomi konvensional, akan tetapi menyempurnakan revolusi ilmiah yang dilakukan oleh ilmu ekonomi konvensional.  Kenapa ekonomi Islam? Jawapan ringkasnya karena peluang untuk menciptakan suatu konsensus dalam dunia muslim lebih besar jika bahasan masalah dilakukan dalam kerangka pandangan dunia Islam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar